Bagian 3

61 8 0
                                    

SEPTEMBER 2013

"Ini teh hangat untukmu". Ucap Joy sambil menyodorkan teh hangat. Lalu duduk di batang pohon yang sama. Di sebelah tenda, disebelah gadis itu.

"Terimakasih."

"Kakimu masih sakit?"

"Lumayan, masih sedikit ngilu. Tapi tak masalah. Besok juga akan baik-baik saja"

"Siapa suruh menendang pohon?"

Gadis itu tersenyum kecut.

"Kau tidak tidur? Teman-teman yang lain sudah pada tidur tuh."

"Belum mengantuk."

"Apasih yang sedang kau pikirkan, matamu sudah mirip seperti mata kepala sekolah
kita. Sudah dua hari ini kau tak tidur. Cerita saja jika ada masalah."

"Malas cerita ah. Masih capek"

"Yasudah kalau gitu. Aku tidur duluan." Joy bergegas memasuki tenda.

"Jangan dulu, temani aku disini bisa?"

Langkah lelaki itu terhenti. Namun ada senyuman tipis yang menghiasi wajah lelaki itu. Jujur saja Joy benar-benar tak ingin meninggalkan gadis itu sendirian. Joy kembali duduk di sebelah gadis itu.

Mereka hanya berdiam diri beberapa menit. Tak ada yang membuka percakapan di antara mereka. Udara semakin dingin. Waktu menunjukkan pukul 00:20 malam.

"Ikut aku Ras." Ajaknya

"Kemana?"

"Sudah ikut saja. Kamu bisa jalan?"

"Kalau yang lain mencari kita bagaimana?

"Sudah ikut saja. Jangan cerewet." Joy menarik lembut tangan Laras.

Laras menyerah. Ia menerima ajakan lelaki itu. Walaupun ia tak tau akan di bawa kemana. Mereka menembus ranting-ranting pohon dan alang-alang. Cahaya pelita di tangan kanan Joy menyapu kegelapan. Angin bertiup sejuk namun tangan kiri Joy tak juga melepaskan genggamannya pada gadis itu.

"Kau ingin macam-macam ya Joy?"

Joy tak merespon perkataan Laras. Joy tetap melanjutkan perjalanan.

"Awas ya kalau macam-macam, kalau sampe macam-macam aku bakal berteriak." Namun Laras paham bahwa sekeras apapun teriakannya tak akan berguna ketika di tengah hutan.

"Sebentar lagi samapai. Sabar"

Ketika mereka keluar dari alang-alang. Terpaparlah pemandangan kota dari atas bukit itu. Bintik-bintik cahaya berkemilau di kejauhan. Bintang-bintang tak mau kalah beradu cahaya dengan lentera yang menyinari
setiap sudut kota.

"Indah sekali." Gadis itu takjub.

"Kau lihat ras. Kota kita sangat kecil jika dilihat dari sini. Apalagi dari luar angkasa. Manusia itu sangat kecil. Jauh lebih kecil dari debu mikroskopik".

"Apa itu debu mikroskopik?"

"Kurang tahu juga. Biar kedengaran keren saja." Joy tertawa.

Joy menggosok-gosok kedua tangannya sambil meniup-niup.

"Dingin ya?" Tanya laras. Gadis itu membungkus kedua tangan Joy. Mata mereka saling bertemu, lama saling menatap satu sama lain. Dengan cepat Joy melepaskan genggaman Laras dan kembali menatap ke arah depan.

"Apa impianmu setelah lulus ini?" Tanya Joy mengalihkan pembicaraan.

"Entahlah. Sepertinya tidak ada."

"Bagaimana bisa. Seorang manusia hidup tanpa impian? Banyak manusia yang rela mati-matian hanya karna bisa mencapai sebuah impian Ras."

"Entahlah Joy. Aku masih belum berfikir mau jadi apa aku nanti. Siapa yang harus aku banggakan? Ibu dan Ayahku saja sudah pergi meninggalkan aku. Dulu aku punya impian ingin membahagiakan mereka. Tapi belum sempat aku meraih impian itu, mereka sudah lebih dulu pergi. Tuhan lebih menyayangi orang tuaku."

"Tidak seperti itu Ras. Kamu bisa membahagiakan orang-orang yang masih ada di sekitarmu. Atau bahkan bisa membahagiakan dirimu sendiri. Ras, kau hidup punya alasan. Tuhan memanggil orang tuamupun punya alasan baik untuk kamu. Bagaimanapun sulitnya hidup, hidup tak akan berjalan mundur. Akan ada fase dimana semua hal buruk berubah menjadi lebih baik. Percayalah."

"Buku-buku yang kau beli di pasar loak ternyata bisa membuatmu jadi pintar ya? Bijak sekali."

Joy tertawa.

"Ohiya. Kalau impianmu setelah lulus ini apa Joy?"

"Aku ingin menjadi lighting designer."

"Apa itu?"

"Aku ingin bercerita lewat cahaya Ras." Joy menatap gadis itu dengan amat dalam.

Joy baru menyadari ada detak yang tak biasa saat menatap gadis itu. Dadanya sesak. Jantungnya berdegup tidak normal. Perasaan yang tak biasa tiba-tiba datang dengan cara yang tak pernah ia rencanakan sebelmunya.

"Terimakasi ya?"

"Untuk apa?"

"Membawaku kesini. Tempatnya indah sekali. Aku suka Joy."

"Iya, aku juga suka kamu Ras"

"Issshhhh nyebelin." Gadis itu mencubit kecil lengan peria itu.

Laras merasa sangat nyaman dan damai bila berada di dekat Joy. Entah mengapa Laras mampu menjadi orang yang lebih berarti jika bersamanya.

Wajah Laras mendekat ke arah wajah Joy. Joy mematung, terdiam. Kedua tangan lembut Laras menyentuh kedua pipi peria itu. Wajah Joy memerah karna berusaha menahan rasa malu dan gugupnya.

Laras berbisik. "Kau benar Joy. Tuhan mengambil sesuatu dari kita pasti mempunyai alasan. Dia hanya menukarnya dengan yang lebih baik."

"Dan yang ditukar adalah?"

"Orang tua aku."

"Dengan?"

"kamu."

"Gombal." Jawab Joy

Mereka berdua tertawa lepas.

T A NTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang