(1) Impresi

12 0 0
                                    


((Bayu Point of View ))

Perempuan berambut hitam dengan potongan rata setengah punggung itu daritadi bolak-balik ke ruangan pantry lalu ke meja kerja, sepertinya sudah 12 kali. Bunyi langkah pantofel miliknya yang beradu dengan lantai ruangan membuat otak ku gagal konsentrasi pada lembaran-lembaran kerja yang menjajah layar komputer. Aku bersumpah kalau aku bawa sendal jepit, sudah ku paksa anak perempuan magang ini melepas pantofelnya. 

Aneh! Tidak biasa-biasanya aku terganggu dengan distraksi suara sekecil antukan pantofel dengan lantai. Aku ini pekerja lapangan, aku biasa ngider ke pelosok negeri dan mengerjakan laporan dimanapun bahkan dipinggir jalan tol ditemani deru suara truk-truk tua yang ban nya hampir copot. Tapi kali ini, aku benar-benar tidak bisa fokus sama sekali. Seluruh atensi ku jadi menumpuk pada sosok anak magang itu beserta pantofel riuhnya. 

Satu-satunya anak magang yang masuk Divisi Pengembangan Aksesibilitas Udara di kuartal pertama tahun ini. Aku sendiri bertanya-tanya kenapa ia bisa tercemplung ke bagian ini, divisi yang bisa dikatakan paling sibuk sejak 6 bulan terakhir. Jangankan dibimbing oleh PIC magang, bisa ketemu seminggu sekali saja sudah syukur. Aku sendiri sebulan terakhir ini  bolak-balik dari kantor tempatku kerja-lalu-bandara Soetta-atau-bandara BIJB-selanjutnya menuju-dishub Jakarta-setelahnya ke- Kementerian Kementerian di Jakarta lalu balik lagi ke kantor ku, begitu begitu terus sampai mau muntah! 

Rasanya kalau menyewa jin bisa membuatku melakukan teleportasi, sudah aku sambangi rumah Ki Kusumo atau Ki Ki lainnya yang menjual jin dengan spesifikasi Ferrari. 

Beruntung, beberapa hari terakhir ini aku bisa diam di kantor untuk menyelesaikan laporan dan kerjaan lainnya didepan komputer, dan ini hari ke empat aku melihat anak magang yang kerap disapa Edrea. Belum pernah sekalipun aku memanggil namanya, sulit sih, takut salah. Bukan, alasan sebenarnya karena aku ini cadel huruf R.

"Edle, edhhh..edhhrlkslkalksea"bisik ku pelan, iseng mempraktikan pelafalan nama anak magang itu 

Aku lihat anak magang ini setiap harinya hanya bolak-balik pantry atau sekadar memfotokopi dokumen salinan dari email lalu menyetorkannya ke meja Pak Cahyo, sang kepala divisi tempatku bekerja. 

Memang, kalau aku boleh bilang divisi ku ini bukan divisi ideal untuk disisipi posisi magang. Yang kami kerjakan terlampau serius untuk dicampuri anak magang yang hanya bekerja selama 3 bulan. Kami membicarakan proyek paling sedikit perencanaan untuk 2 tahun, biasanya proyek itu kami kerjakan selama 6 bulan. Dan kuartal pertama tahun biasanya kami menyelesaikan proyek-proyek yang sudah hampir rampung. Bukan perkara mudah memasukan anggota baru ke dalam proyek setengah atau hampir rampung. 

Tapi, satu hal yang membuatku penasaran setengah mati. Selain wajahnya yang selalu sumringah meski kerjaan nya sejauh ini bisa dibilang kurang berfaedah, anak magang yang tingginya tidak lebih dari 155cm itu bisa bercengkrama dan ngobrol santai dengan sesosok Mbak Mayang. Aku saja yang sudah 3 tahun jadi pegawai disini masih canggung pada sosok Mbak Mayang. Bukan hanya aku, seluruh pegawai di lantai 16 ini tidak ada yang kenal dekat dengan Mbak Mayang! 

Benar-benar sesuatu yang langka melihat Mba Mayang si sekretaris divisi yang masih muda itu tersenyum bahkan tertawa lepas dengan orang lain selain dengan kekasihnya. Ia menaruh jarak kalau dianalogikan sejauh 2 juta tahun cahaya pada semua pegawai yang ada dilantai 16 ini. Bahkan, aku tidak tau persis darimana Mbak Mayang berasal, kalau tiba-tiba dia berasal dari Planet Jupiter, Planet Sports atau Planetarium sekalipun pasti anak magang itulah yang mengetahuinya duluan. 

"Kak Bayu, ini ada oleh-oleh dari Pak Cahyo." Ucap Edrea yang membawa lebih dari 20 kotak teh dan aku orang pertama yang ia berikan 

"Thanks ya. Pak Cahyo habis dinas kemana?" Tanyaku karena gagal menganalisa darimana teh ini berasal 

"Maluku, Kak. Saya lanjut bagi-bagiin lagi ya, Kak." Izinnya sopan 

"Sini gua bantuin." Responku tak tega melihatnya kerepotan menyamakan keseimbangan agar 20 kotak teh dipelukannya tidak terjatuh

"Kakak mundur dulu dua langkah." Katanya yang benar-benar tidak bisa menggerakan tangannya kemana-mana lagi karena mengunci tumpukan kotak teh didepan dadanya. 

Aku menahan tawa melihat ulahnya, aku sampai lupa kalau ia menyuruhku mundur 2 langkah. Akhirnya ia yang mundur 2 langkah, spontan aku ikut mundur 2 langkah. Beberapa detik setelahnya, Edrea melepas kedua tangannya membentangkan tangannya ke udara seperti burung yang sedang mengembangkan sayapnya. 

"Maaf Kak, ga ada cara lain." Kata Edrea yang langsung bisa aku tangkap maksudnya. 

Jika aku mengambil beberapa kotak teh dalam posisi ia yang mendekap, pasti aku akan menyentuh beberapa bagian tubuhnya. Ia tidak mau tersentuh, aku benar-benar mengerti. Anak ini benar-benar begitu polos dan lugu.

"Gua paham kok." Jawabku mencobamenjaga wibawa sebagai senior namun gagal setelah tawaku yang pecah saat aku merunduk dan memunguti kotak-kotak teh yang berceceran di lantai

"He.. he.." Edrea tertawa renyah sambil sedikit malu-malu. 

"Gua ke sisi kanan ya. Lu kesana." Kataku mengarahkannya untuk membagikan teh di meja pegawai lain. Hari ini meja-meja itu banyak yang kosong, para empu nya masih dalam perjalanan dinas yang seringnya tidak se-menyenang-kan perjalanan dinas divisi lain. 

Sebentar, aku merasa beban di kepala dan pundakku tiba-tiba hilang secara ghaib tidak bersisa. Semangatku kembali penuh. Akan kucoba mengerjakan laporan lagi setelah membagikan 10 kotak teh ini, sepertinya aku benar-benar sudah bisa fokus. 

Apa iya tawaku terhadap Edrea barusan telah menyembuhkanku? 

Mungkin hanya kebetulan. Ternyata, aku hanya butuh tertawa sedikit.

PahamWhere stories live. Discover now