J-11; Kali Kedua

3.1K 362 35
                                    

Tidak terasa sudah dua hari ini aku menghirup udara segar di Dolok Sanggul, sangat berbeda dengan udara Jakarta yang selalu identik dengan polusi.

Ketika sedang mengintograsi Ruddy perihal apa saja yang sudah terjadi di Teapilog selama tidak ada aku, Jack yang sedang sibuk dengan pakaian-pakaiannya tiba-tiba bersuara.

"Karena kamu sudah ada di Dolok Sanggul, bakal nggak afdol kalau kamu belum mencicipi daging kuda yang sangat terkenal di sini."

"Kuda? Enggak ah, kasian. Masa kuda lucu kayak gitu aku makan."

"Kalau nggak mau berarti nggak usah balik Jakarta."

Dahiku berkerut mendengar perkataan itu keluar dari mulut Jack. Cafe-ku gimana dong kalau aku kelamaan di Sumatera? Baru di tinggal dua hari saja aku sudah rindu suasana cafe. Huft.

"Jangan gitu dong, sayang. Cafe aku gimana kalau aku nggak balik ke Jakarta?"

"Ya makanya makan daging kuda dulu."

Aku menghela nafas. Harus banget nih makan daging kuda? Kenapa tidak daging yang lainnya saja sih? Apa makan sayur gitu. Huh.

"Jangan kebanyakan mikir deh. Daging kuda enak kok, nggak kalah sama dagin sapi dan kambing. Malah lebih enak daging kuda."

Kembali aku menghela nafas sambil memperhatikan tangan Jack yang dengan terampil melipat baju-baju, dan dengan pintar pula dia memasukkan semua baju ke dalam koper. Oh, bukannya aku tidak ingin membantunya packing, namun Jack sendiri yang menyuruh aku agar tidak memberikan bantuan.

"To be honest, Jackie, aku vegan sekarang."

Jack menghentikan aktifitas melipat bajunya. Dia menatapku dengan kesal. Aku menghela nafas, kalau sudah seperti ini pasti Jack akan berbicara panjang dan lebar.

"Sejak kapan kamu jadi vegan? Jangan bercanda kamu, kemarin aja kamu makan daging ayam kok. Mana ada vegan yang makan daging ayam."

Aku hanya bisa mengusap tengkukku ketika mengetahui kesalahan dalam memilih jawaban yang aku lontarkan tadi. Aku lupa kalau kemarin aku makan daging ayam. Hehe.

"Aku vegan kok, vegan anti makan daging kuda daging kuda club."

Jack kembali menghela nafas. "Bercandamu nggak lucu. Yaudah, nggakpapa kamu nggak makan daging kuda. Tapi, kamu harus beliin aku kopi Dolok sama kopi Lintong."

"Serius, Jackie? Kamu kan punya perkebunan kopi, kenapa harus beli kopi yang lain? Tinggal ambil punya kamu sendiri kan bisa?"

Jack lagi-lagi menghela nafas, sekarang dia benar-benar menghentikan aktifitasnya. Dia berdiri dari duduk bersilanya di atas lantai, lalu berjalan mendekatiku, dia menarik kursi yang berada tidak jauh dari meja belajar untuk di dekatkan dengan ranjang dimana aku duduk.

Perempuan itu duduk di samping ranjang, posisi kursinya dia balik, sandaran pada kursi yang diduduki dipakai untuk menopang kedua tangannya. Jack menatapku, hanya berkedip tanpa mau bersuara.

"Apa? Kenapa kamu melihatku seperti itu?"

Perempuan berparas cantik itu menghela nafas, dia menaruh dagunya di atas kedua tangannya yang terlipat.

"Begini, Erika. Meskipun aku punya perkebunan kopi, tapi hasil dari perkebunanku dengan perkebunan orang lain pasti berbeda. Pasti ada rasa berbeda yang tercipta dari setiap biji kopinya."

Ponsel yang sedang aku pegang terpaksa aku taruh di atas nakas. Aku menatap Jack dengan intens. Mencoba men-scan setiap inci dari perempuan itu.

Celana boxer dan tanktop berwarna hitam yang dia pakai terlihat sangat lucu dan menggoda. Tatapan mata perempuan berwajah oval itu sangat menghipnotis. Aku berdiri dari dudukku, dan mendekatinya.

"Duduknya yang bener dong."

Jack mendongak untuk menatapku yang sedikit lebih tinggi darinya karena dia duduk sedangkan aku berdiri.

"Kamu mau apa?"

"Udah, duduk aja yang bener."

Jack mengikuti apa yang aku suruh. Dia membalikkan badannya, duduk dengan posisi yang seharusnya. Punggungnya telah bersandar nyaman pada sandaran kursi kayu yang dia duduki.

Aku pun berjalan untuk mendekatinya, sekarang aku berdiri di hadapannya. Dia memandangiku dari atas sampai bawah. Aku pun melakukan hal yang sama. Entah mengapa aku selalu suka melihat Jack dalam balutan boxer dan tanktop.

"Kamu mau apa, Erika?"

Aku diam tidak menanggapi pertanyaan Jack, yang aku lakukan hanya berjalan mendekatinya hingga aku berdiri di antara kedua pahanya.

Jack mendongak, menatap tepat di manik mataku. Aku balas menatapnya. Lalu setelah puas menatap matanya, aku duduk di atas paha Jack. Sekarang posisi mata kami sudah sejajar.

"Sayang, aku tidak pernah mengerti tentang kopi. Bahkan setahuku, aku tidak menyukai kopi. Tapi ternyata setelah ditelaah lagi, aku salah. Ternyata, hanya ada satu jenis kopi yang dapat membuat aku ingin selalu menikmatinya."

Dahi perempuan di hadapanku itu berkerut, kedua tangannya merangkak naik melingkari perutku. Tatapan kami masih saling beradu.

"Kopi jenis apa itu? Kenapa kamu tidak pernah memberitahuku? Apakah aku pernah mencoba kopi itu?"

Aku tersenyum menggodanya. Lalu kedua tanganku aku lingkarkan pada lehernya.

"Kopi itu berjenis kelamin perempuan, namanya Jacqueline."

Jack tersipu mendengar perkataan itu keluar dari mulutku, "Aku baru tahu kalau ternyata kamu bisa mengatakan perkataan gombal seperti itu."

Aku hanya tersenyum, lalu detik berikutnya, Jack mendekati wajahku dan mengecup singkat keningku.

"Kenapa sih kamu selalu beraroma kopi, Jack?"

Jack menyudahi kecupannya, kehangatan dan kekenyalan yang terjadi pada keningku tiba-tiba menghilang ketika bibir itu menjauh. Jack mengusap lembut pipiku, dia menatapku dengan intens seperti aku ini hanya miliknya dan tidak boleh dilihat orang lain.

"Karena aku anak petani kopi. Dari kecil aku sudah disodori tentang kopi, aku belajar cara menanam hingga memanen, aku juga belajar cara mengolah kopi dari biji hingga sampai bisa dinikmati di cafe-cafe. Apakah itu tidak cukup untuk membuat diriku beraroma kopi?"

Aku tersenyum mendengar penjelasan Jack. Aku memang tidak menyukai kopi, namun aroma kopi selalu menjadi favoritku, karena orang yang aku favoritkan beraroma kopi. Jadi meskipun Cafe Teapilog menyajikan menu ragam teh, tapi aku masih menyisipkan satu menu berbahan dasar kopi. Yaitu; kopi tubruk.

Aroma kopi selalu membawaku pada ingatan tentang perempuan bernama Jacqueline Simamora. Jadi, sejak dari putusnya hubunganku dengan Jack hingga satu tahun lamanya tidak bertemu, aku selalu mencari aroma kopi, agar ingatan tentang Jack tidak pernah hilang dari benakku.

Usapan lembut ibu jari Jack pada bibirku mampu menyadarkan lamunanku, Jack tersenyum. Tidak lama, karena sudah tidak tahan lagi, aku menggoda Jack dengan menggigit ibu jarinya yang sedang mengusap lembut bibirku.

Jack tersenyum, lalu mendekati wajahku dan mulai bermain dengan bibirku. Aku begitu suka ketika bibir kenyal itu menyapa bibir kenyal milikku. Dan respon alamiku adalah menekan tengkuk perempuan itu agar ciuman kami lebih erat lagi.

Setelah beberapa menit, ciuman kami terlepas, kami sama-sama menghirup oksigen untuk persedian kalau-kalau nanti kami lupa bernafas.

Dahi kami masih saling menyapa di sela-sela istirahat kami, dengan berani aku menatap mata Jack, menembus pikiran terdalam Jack lewat matanya. Aku tersenyum lalu mengatakan dengan yakin apa yang seharusnya aku katakan sejak dulu.

"Aku rasa, aku kembali jatuh hati padamu untuk yang kedua kalinya, Nona Simamora."

Jack tersenyum bahagia, tanpa ingin mendengar responnya. Aku mendekatkan bibirku agar bisa kembali menyapa bibirnya.

-0000-

Jacqueline.Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang