J-2; Cukup.

7K 690 45
                                    

"Jesus Christ! Jackie, bikin kaget saja!"

Ketika aku membuka pintu cafe, wanita berpakaian serba hitam itu sudah berdiri menampakkan gigi-giginya yang sekarang berkawat.

Sejak kapan wanita ini berdiri di situ?

Kemarin karena malam sudah terlalu larut, jadi aku sengaja tidak pulang dan memilih untuk tidur di cafe. Dan sekarang ketika aku hendak kembali ke rumah, Jack sudah mengejutkanku terlebih dahulu. What the heck!

"Morning, sweetheart."

"What are you doing here?!"

"Pick you up, maybe?"

Aku menghela nafas, Jack masih berdiri bersandar pada pintu cafe, dia memperhatikan tanganku yang mengunci pintu.

"Pergi, Jacqueline. Aku tidak mau melihatmu."

Setelah dirasa pintu terkunci dengan sempurna, aku memasukkan kunci cafe ke dalam pouch-ku. Tanpa menghiraukan kehadiran Jack, aku berjalan menuju ke parkiran mobil.

Jack masih setia mengikutiku dari belakang. Aku hanya bisa menghela nafas. Teruskan, jangan berhenti, Erika!

Setelah menemukan Honda Civic berwarna hitam--keluaran tahun 1990--kesayanganku yang terparkir sendirian, aku merogoh kunci pada saku celana jeans yang aku pakai. Jack masih menunggu, aku merasa seperti sedang diintai sekarang.

Ketika hendak membuka pintu mobil--tanpa mendapatkan ijin dariku terlebih dahulu--Jack dengan berani mendekapku dari belakang. Aku memejamkan mataku, merasakan hembusan nafasnya pada leherku. Kepalanya bertopang nyaman di atas pundakku.

"I miss you, baby girl."

Aku menghela nafas, teringat akan alasan mengapa aku memutuskannya. Dengan tekad bulat, aku melepaskan lingkaran tangannya yang melingkari perutku.

"Pergi, Jack. We are done."

Setelah Jack mundur satu langkah, aku membuka pintu mobil, masuk ke dalamnya, dan pergi meninggalkan wanita itu sendirian.

Setelah dirasa cukup jauh dari cafe, aku melambatkan laju mobilku. Ketika lampu lalu lintas menyala merah. Aku menundukkan kepala, dahiku bertopang pada setir mobil. Tidak terasa air mata itu turun mengaliri pipiku tanpa bisa aku bendung.

Sentuhan Jack, hembusan nafasnya. Aku merindukan itu. Jauh di lubuk hatiku, aku merindukannya. Merindukan sentuhannya, merindukkan canda tawanya, merindukan kehadirannya, merindukan luapan cintanya.

Holy shit!

≠≠≠≠

"Mbak, ada pelanggan yang ingin menemui Mbak Erika."

Kembali, ketika aku sedang membaca proposal ketiga dari kampus yang berbeda, Nana memberitahukan aku kalau ada pelanggan yang ingin menemuiku.

Aku menghela nafas, menutup proposal yang sedang ku baca, lalu memperhatikan Nana dengan sorot serius.

"Again?"

Nana mengangguk, "I-iya, Mbak."

"Oke, tunggu sebentar."

Lagi, setelah aku merapikan meja kerjaku dari beberapa proposal kerjasama sponsor yang diajukan oleh beberapa kampus, aku segera mengekori Nana dari belakang.

Ketika melewati bagian kitchen, pandangan mataku bertemu dengan manik mata Ruddy. Dia memperlihatkan wajah khawatirnya, mengerti akan kekhawatirannya, aku hanya bisa mengatakan 'i'm fine' tanpa bersuara.

"Yang mana orangnya?"

"Yang pakai jaket bomber berwarna biru dongker, dan topi berwarna hitam."

Aku mengikuti arah telunjuk Nana, dan ya, lagi-lagi punggung itu.

Sialnya diriku! Gagallah move on ku!

"Baiklah, lanjutkan pekerjaanmu. Biar aku yang handle."

Aku mendekati punggung itu, dan lagi-lagi aroma kopi khas dirinya langsung menyeruak memporak-porandakan indra penciuman dan hatiku.

"Really, Jacqueline? What you want from me?! Just say it, now!"

Melihatnya tersenyum, amarahku makin merangkak naik sampai ke ubun-ubun. Mungkin kalau di kartun-kartun, kepalaku sekarang sudah mengeluarkan asap saking emosinya. Aku sangat kesal dengan perilaku Jack yang sungguh menganggu ini.

"Whoa, easy girl. First, have a seat."

Masih dengan senyuman yang terukir di wajahnya, Jack menunjuk kursi di hadapannya, dia menyuruh aku duduk di sana. Di hadapannya.

Kali ini--meski kesal--akhirnya aku melakukan apa yang dia perintahkan. Aku hanya ingin Jack segera pergi dari cafeku. Besok-besok lagi kalau Jack menampakkan wujudnya di cafe ini, aku akan menyuruh seluruh karyawan untuk mengusir dirinya. Aku muak melihat mukanya!

"Sekarang, apa lagi yang ingin kamu sampaikan, ha?"

Jack terlihat sedikit berpikir, lalu setelah lampu di atas kepalanya menyala, dia menatapku dan kembali tersenyum.

"Em, tentang red velvet yang aku makan kemarin, apakah sekarang aku boleh mendapatkan gantinya?"

Aku menghela nafas kesal, seharusnya aku tahu, Jack selalu seperti ini. Dia selalu ingin mendapatkan apa yang sudah menjadi keinginannya.

"Masih berlaku kan, babe?"

"Tunggu sebentar. Ohya, and, stop calling me babe, baby girl, sweetheart or anything else! Kita sudah selesai, paham?!"

Setelah mengucapkan itu, aku pergi meninggalkan Jack tanpa mau melihat kearahnya.

Alamat beneran gagal move on, nih!

≠≠≠≠

"Ini, silakan dinikmati."

Aku meletakan sepiring red velvet ke hadapan Jack, setelah itu ketika hendak pergi meninggalkannya, wanita itu menarik lenganku. Lagi-lagi, aku harus memejamkan mataku. Mencoba menetralkan hatiku.

"Duduklah, temani aku untuk sejenak saja. Aku benar-benar merindukanmu, Erika."

Ternyata hatiku tidak bisa mengalahkan egoku, aku menghela nafas, lalu kembali duduk berhadapan dengan Jack.

Ketika aku sudah duduk dengan nyaman, Jack memperhatikanku sambil tersenyum. Dulu senyuman itu sangat aku sukai. Sekarang? Aku masih menyukainya. Damn it!

"Erika, kembalilah padaku."

Aku menggelengkan kepala. Serindu apapun aku, secinta apapun aku dengan Jacqueline, aku sudah bertekad tidak akan kembali ke pelukannya. Aku hanya tidak mau tersakiti lagi karena kebiasaan buruknya.

"Ku mohon Erika. Aku sangat mencintai kamu, i need you."

Kembali aku menggeleng, "Aku tidak mau. Cukup empat tahun saja aku berhubungan dengan junkies. Aku tidak mau lagi mengurusimu ketika kamu sakau. Enough, Jacqueline."

Sendok kecil yang dia pegang untuk memotong cake-nya, dia letakkan. Jack menatapku dengan serius. Aku tidak suka ketika perempuan itu memperlihatkan wajah seriusnya.

"Aku sudah berhenti, Erika. Aku sudah bukan pemakai, sudah bukan lagi pemabuk, juga sudah bukan perokok lagi."

Aku kembali menggeleng. Menggeleng karena tidak percaya dengan apa yang dia ucapkan. Dulu ketika di tahun keempat awal, Jack mengaku sudah tidak mengkonsumsi narkoba, ketika itu aku mempercayainya begitu saja. Namun, tanpa sengaja, aku melihatnya sedang menghisap serbuk putih yang berada di punggung tangannya.

Itu yang dibilang sudah tidak memakai lagi? Dia pikir aku tidak tahu serbuk putih itu apa? Dia pikir serbuk putih itu tepung?!

"Enough, Jack. I'm done with you."

Tanpa ingin melihat untuk yang terakhir kalinya, aku segera meninggalkan Jack. Aku tidak mau mendengarkan bualannya lagi. Aku benar-benar harus move on dari junkies itu.

-0000-

Jacqueline.Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang