J-4; Jalan Pulang

5.6K 606 11
                                    

"Hallo, Ruddy?"

"Yo, what's up?"

"Rud, bawa kunci cafe kan? Hari ini aku nggak bisa ke cafe, tolong kamu handle, ya?"

"Tumben, ada apa? Emm, I guess, pasti Jacqui kan?"

Aku menghela nafas, kenapa tebakkannya harus benar?!

"Jangan keras-keras, orangnya ada di sini!"

Sedari tadi aku memang berbisik ketika menelepon Ruddy, karena aku tidak mau Jack mendengar percakapanku. Tapi sialnya Ruddy tidak pernah bisa santai kalau berbicara di telepon.

"Yailah, dia nggak bakal denger dungu! Yaudeh, have fun ya? Inget, jangan sampai lo jatuh lagi, kalau sudah jatuh itu sakit."

"Hmmm, oke. I'll remember that. Thanks."

Setelah menutup panggilan telepon, aku menghela nafas. Untung aku punya Ruddy, orang yang bisa aku percaya--walaupun kadang bertindak ceroboh dan gegabah.

Sore ini terpaksa aku tidak bisa ke cafe karena ada Jack, dia berencana untuk menginap, dan dia tidak mengijinkan aku bekerja, karena dia ingin menghabiskan waktunya bersamaku. So, udah balikan, huh?

"Aku tidak percaya, sekarang kamu punya cafe sendiri. Impianmu benar-benar terwujud ya?"

"Ya seperti yang kamu lihat."

Aku meletakan ponselku ke dalam mangkuk yang berada di dekat tv. Mangkuk ini memang di khususkan untuk ponsel dan kunci-kunci.

Jack yang duduk di sofa, mengisyaratkan dengan tangannya agar aku duduk disampingnya. Tanpa menolak, aku mendekatinya, dan duduk disampingnya.

"Kita mulai dari awal lagi ya?"

Aku tidak bisa langsung memberikan jawaban, karena aku perlu berpikir lagi. Bisa saja Jack memang benar-benar berhenti menjadi pemakai, tapi aku merasakan ada yang sedang disembunyikan olehnya.

"Erika?"

Aku tersadar ketika kedua tangannya sudah menggengam kedua tanganku. Aku memperhatikan Jack dari atas sampai bawah. Tidak ada yang berubah. Wajahnya masih sama, masih menarik. Cara berpakaiannya juga masih sama, masih suka memakai kaos polos dan celana jeans.

Rambut panjangnya yang dulu berwarna brunette sekarang sudah berubah menjadi hitam kembali. Matanya yang berwarna gelap masih memancarkan binar bahagia ketika melihat kearahku. Bibirnya yang dulunya merah kini sedikit berubah gelap karena keseringan merokok.

"Jangan men-scan ku, Ika. Aku masih sama, yang membedakan hanyalah nasib."

Aku tersenyum mendengar perkataannya.

"Kenapa gigi bawahmu sekarang diberi pagar? Takut hilang, huh?"

Jack tertawa, sambil mengacak-acak rambutku.

"Kamu masih lucu seperti dulu."

"Jadi, kenapa? Bukankah susunan gigimu yang berantakan itu yang bagian atas? Kenapa hanya bagian bawah yang kamu pasangi pagar?"

"Seriously, Ika? Setelah satu tahun tidak bertemu, hanya kawat gigi yang kamu tanyakan?"

"Karena itu yang menarik perhatianku. Sisanya? Tidak menarik."

Jack kembali tertawa, namun tidak lagi mengacak-acak rambutku. Setelah dia bisa menetralkan kembali tawanya, dia merangkulku.

"Ika, boleh aku memelukmu?"

Aku mengangguk. Sikap Jack yang meminta ijin ini mengingatkanku dengan sikapnya sewaktu berpacaran denganku di tahun pertama. Waktu itu bunga-bunga cinta diantara kami masih bermekaran dengan indah.

Jack memelukku dengan sangat erat. Dia mengusap punggung dan kepalaku, mencium puncak kepalaku beberapa kali.

"Kamu seperti akan pergi jauh."

"Aku merasakan sebaliknya, aku merasa kamu yang akan pergi jauh, Ika."

"Sejauh apapun aku pergi, pasti dengan sangat mudah kamu akan menemukanku. Karena kamu tahu semua hal yang ingin aku lakukan, kamu tahu negara bahkan kota mana yang ingin aku jelajahi."

Jack tertawa, dia menarik diri dari pelukannya, namun kedua tangannya masih melingkari pinggangku.

"Empat tahun bukan waktu yang singkat, ya?"

Aku menghela nafas, melepas kedua tangan Jack yang melingkari pinggangku, lalu merubah posisi dudukku menjadi menghadap ke depan--kearah tv, dan tidak lagi kearah Jack.

Aku menyandarkan kepalaku pada sandaran sofa. Jack duduk bersila di atas sofa, tubuhnya yang menghadap kearahku dia condongkan ke depan mendekati tubuhku. Perempuan itu mulai bermain dengan rambutku, kami sibuk dengan pikiran kami masing-masing.

"Jackie, kamu benar-benar sudah berhenti?"

Jack berhenti memainkan helai rambutku. Aku menoleh menatap wajahnya. Jarak kami hanya beberapa jengkal. Dengan jelas aku dapat melihat warna iris mata Jack yang berwarna coklat gelap.

"Iya, demi alam semesta. Aku benar-benar sudah berhenti."

"Kenapa dulu kamu lebih memilih barang haram untuk pelarian kamu, Jack? Apa kamu tidak menghargai keberadaanku yang selalu siaga 24 jam untuk kamu?"

Jack menundukkan kepalanya, tanganku bergerak untuk mengusap lembut rambutnya.

"Maafkan aku, Ika. Dulu aku memang benar-benar bodoh, rasa sedih bercampur marah membutakan semuanya. Perceraian mereka, kepulangan Damang kepada Yang Kuasa, pelarian Ibu dengan suami barunya. Itu membutakan aku."

Mendengar suara Jack yang bergetar, aku merengkuh kedua sisi wajahnya dengan kedua tanganku. Kedua ibu jariku mulai menghapus air mata yang mengaliri pipi lembut Jack.

"Aku selalu memaafkan kamu, Jackie. Sst, tenang. Ada aku di sini."

Melihat Jack yang semakin rapuh, aku menariknya ke dalam pelukanku. Mengusap-usap punggungnya dengan sayang agar dia merasa tenang.

"Kembalilah padaku, Erika. Aku membutuhkanmu."

Aku mengangguk dalam pelukkan ini. Jack sudah benar-benar melupakan barang haram itu. Biarlah yang berlalu semakin berlalu, aku tidak akan mengungkitnya lagi.

"Aku mencintaimu, Erika."

"I know, Jackie."

Aku semakin mengeratkan pelukanku, dan mencium puncak kepalanya. Sama seperti yang dilakukan Jack padaku tadi.

≠≠≠≠

"Sekarang apa kesibukanmu, Jack?"

"Jalan-jalan mencari inspirasi. Dan mencarimu, tentunya."

Aku melempari Jack dengan daging ayam panggang yang sudah aku potong kecil-kecil. Ayam panggang keju mozarella menjadi menu makan malam kami hari ini.

"Jangan bercanda, aku serius!"

Jack menerima dengan baik potongan daging ayam yang aku lempar. Dia tertawa dan memakan potongan daging itu.

"Aku menulis lagu sekarang."

"Serius?"

Jack mengangguk mantab sebagai jawaban. Aku tidak percaya kalau Jack benar-benar menulis lagu.

"Wah, kita harus mengadakan pesta kalau begitu. Song writer adalah mimpimu, bukan?"

Jack tertawa mendengar ocehanku, "Hm, ya. Karena mimpi kita berdua terwujud, bagaimana kalau setelah dinner, kita juga dinner di dalam kamar?"

Dahiku mengernyit, dan kembali melempari Jack dengan potongan daging ayam panggang terakhir yang berada di atas piringku.

"Dasar pervert!"

Dan kami sama-sama tertawa menikmati malam kami, ini adalah malam pertama dimana kami benar-benar bisa melepas rindu satu sama lain setelah satu tahun terpisahkan.

Ternyata cinta itu bisa menemukan jalan pulangnya, ya?

-0000-

Jacqueline.Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang