Kesembilan - Kebungkaman

13 3 0
                                    

Kebungkaman

Seseorang pernah datang dihidupku, dia mengatakan banyak hal, aku senang-senang saja karena warna dihidupku semakin beragam.

Doi pernah membungkamku dengan perkataanya, "Rin, kamu pernah sadar gak sih? Kita telah melewati banyak tawa bersama," aku terbahak karenanya, mendengar dia yang seolah sedang dalam mode serius.

"Kamu juga sadar gak? Banyak banget cemberutku hadir karenamu," kujawab begitu, dia diam sejenak.

Perlahan dia berdiri, kami sedang berada di rumah makan pinggiran kota, setelah membayarkan makanan yang telah kami beli, dia mengajakku ke taman, aku biarkan saja dia, mendengar aksi selanjutnya. "Rin, aku mau gelak tawa kita dan cemberutmu itu," dia agak ragu meneruskan kalimatnya, "dan taman ini, menjadi jejak basecamp-nya."

Kerutan dikeningku hadir, "Kamu bisa yang jelas aja gak, Will? Otakku gak nyampe nih," terangku sembari tertawa pelan.

"Taman ini menjadi rumah dari tawa dan cemberutmu padaku, dia saksinya, jadi, jika suatu saat kamu," lagi-lagi keraguan datang, aku bingung, kenapa dia hari ini? Benar-benar aneh, "barangkali merinduinya, datanglah ke tempat ini, dan kita, akan memperbanyak memeorinya di sini. Jangan mengingat hujan dengan kenangannya, cukup taman ini. Kamu rindu oleh ulahku, datang saja ke sini."

Aku tak paham dengan tujuannya--gelak tawa yang dia buat, cemberutku atasnya, dan taman, apa hubungannya?

"Jangan meletakkan setiap memori yang kau ingat di sembarang tempat, biar sisihkan itu semua di satu tempat, bisa?" dia menatapku cukup lama.

Aku melihatnya sendu, "Bisa enggak bisanya, aku gak tahu, Will, karena aku belum pernah mencobanya," aku menyadari sesuatu, "kamu mau pergi, ya?"

Dia tersenyum sangat tipis, "Aku gak akan ke mana-mana kok, tenang aja." tanpa disadarinya, aku menghela napas.

"Masih berada di bumi, aku takut, ada seseorang yang mengubah duniaku, dengan perlahan," aku merasa ini bukan dia, dia yang aku kenal sebelumnya, "kemudian menjauhkanku darimu."

Aku bukanlah orang yang mengambil pusing dengan keadaan yang tak mengenakkan, tidak akan pernah kubiarkan lama-lama mengusik hidupku. Perkataannya yang ambigu di otakku, kubiarkan saja. Sampai suatu hari, aku agak menyesal, tidak meminta penjelasan lebih lanjut kepadanya. Dia pindah kelas, tanpa mengabariku, tanpa menuntaskan kebingunganku.

Hanya satu pesan notifikasi yang dia berikan, chat terakhir darinya.

Willy : Aku mau mencari suasana baru di kelas 11 dan kurasa belum terlambat. Hei, terimakasih dan maaf ya, setahun terakhir kita melewati banyak gelak tawa. Aku di sini, masih orang yang sama.

Tiga kalimat darinya, berbagai luapan emosi memenuhi ronggaku, aku bingung, sedih, marah, kesal, pertanyaan kenapa beribu kali terlintas diotakku.

Satu kalimat terakhir dari pesannya adalah pesan buruk. Kenyataanya, kami perlahan menjadi orang yang pertama kali mengenal; saling acuh tak acuh.

Dia mempermainkanku?

Sebulan terlah berlalu, aku memberanikan diri pergi ke taman yang dijadikannya basecamp waktu itu. Aku termenung lama; menemukan jawaban.

Di taman itu dia sering latihan basket, aku baru menyadari ini. Dia pernah bilang kepadaku, basket salah satu pelariannya terhadap kebosananku terhadap sesuatu. Dia telah bosan karena aku. Itu. Aku membosankan, di hidupnya yang begitu menakjubkan. Benar, 'kan?

Aku yakinkan diriku, aku tidak bisa terus-menerus hidup di antara dia dan kenangannya; aku menata kembali hidupku dan menjadi orang yang tak pernah lagi menganggap seorang Willy pernah ada dihidupku. Itu cukup ampuh, tetapi tidak semudah itu ternyata.

Di hari kelulusan dia membawakan bunga dan menyerahkannya kepadaku, aku meliriknya sinis, tetapi hatiku menerjemahkannya lain.

Senyumnya merekah, "Untukmu," katanya.

"Kenapa? Dari siapa? Untuk apa?" aku merongrong dengan tiga pertanyaan sekaligus.

Dia memaksa tanganku menerimanya, "Sebagai ucapan bahwa Arina lulus dengan nilai yang bagus, dari orang yang pernah menghadirkan gelak tawa dan cemberut," dia menjeda perlahan, aku menahan diriku, tidak menyela dan menamparnya sekaligus mengucapkan kemarahanku, "untuk kita," dia ini kenapa?!

"Aku gak pernah mau kenal dengan orang yang suka memporak-porandakan hidup orang lain," tak lupa nada tegas kumunculkan.

Dia terkekeh, jujur saja, aku rindu satu ini, "Aku juga gak pernah mau jadi orang seperti itu, Rin. Sudah ya, aku mau lanjutin kuliahku ke Paris. Selamat tinggal," setelah beberapa langkah meninggalkanku dengan keterkejutan besar, dia berbalik, "kita bertemu lagi nanti, pasti."

Semenjak hari itu, dia hidup kembali. Aku menyesal mau menyapanya di hari perpisahan--meladeninya.

Setelah sewindu berlalu, dia mengejutkanku lagi dan lagi.

"Ayo, kita menikah!" bergema suaranya ke seluruh penjuru ruangan--aku sedang berada di kantorku.

Aku menariknya paksa, aku tak suka jadi perhatian umum. Kubuka dengan kalimat, "Kamu orang gila," dia terbahak, aku menyadari dia semakin tinggi sekarang.

Dia berlutut kembali dan menyodorkan cincin di dalam kotaknya, "Bagaimana?"

Aku telah salah mengenal seseorang, "Memangnya aku mencintaimu?"

Dia mengangguk dengan yakin, tanpa perkataan ya dariku, tanganku sudah ditariknya pelan dan memasangkan cincin itu.

"Hei!" teriakku, "kamu benar-benar gila, Will. Jangan sok dramatis bisa gak sih? Aku capek dengan kelakuanmu selama ini," kekesalanku tumpah, hanya seperempat bagian.

"Menikah denganku dan semua keresahanmu akan kujawab."

Aku bungkam; penuh kebingungan, alur hidup bagaimana ini?

Interpretasi ReminisensiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang