Kesebelas - Yaampun (2)

12 3 2
                                    

Sebelumnya, aku bingung mendeskripsikan apa itu pertemanan atau persahabatan. Dulu, aku pernah punya teman yang kuanggap sebagai sahabat banget, rumah kami berdekatan, tetapi karena suatu masalah dia meninggalkanku begitu saja. Terakhir kali kami berinteraksi kalau gak salah saat aku kelas 5 dan dia kelas 4 MI, awalnya aku sedih sampai pengen nangis, tapi aku tahan-tahan, terus keluar juga sih dikit dan mamaku bilang, "Yaudah, biar kamu main sendiri aja," aku tahu nasihat mamaku itu yang terbaik saat itu . Ada sebagian diriku menganggap aku terlalu lemah hanya karena sahabat aku nangis, sekarang aku baru sadar kalau wajar saja kita menangis karena hal yang membuat kita sedih.

Dari situ aku tak mau lagi mengenal namanya sahabat, aku hanya ingin berteman dengan orang lain dan jika kami dekat, aku mau memanggilnya teman akrab bukan sahabat. Barangkali sebagian orang berpikir apa bedanya teman akrab, sahabat, dan teman biasa? Menurutku, sangat perlu dibedakan.

Teman-teman akrabku bisa dihitung dengan jari jumlahnya, aku tak semenyenangkan itu buat punya teman banyak, aku sadari itu, karena terkadang sifat emosiku, tak sabaranku, dan lainnya membuat orang tak nyaman denganku?

Masalah pertemanan emang semenyebalkan itu bagi anak kecil menuju remaja, ego yang saling bersinggungan dan tak mau mengalah satu sama lain.

Drama-drama juga bermunculan di hidupku karena tema pertemanan, menjadikan hidup tidak monotonlah, ada marah, kecewa, bahagia, malu, dan sekelebat rasa lainnya.

Untuk konflik itu, yang aku mengenal 'dia' dalam karakter yang baik ternyata beginilah begitulah. Aku baru menyadari lebih dalam lagi, jika manusia memang benar-benar butuh hiburan untuk meluapkan emosinya, bercanda wkwk.

Oke, serius!

Mamaku bilang, setelah aku curhat dengan menggebu-gebu kemarin malam lalu, katanya begini, "Nis, jika orang sudah berada dalam titik terendah, maka kamu tidak wajar jika malah menginjaknya dan membuat dia lebih sengsara," tentunya kalimat beliau kubuat mendramatisir.

Aku langsung ngeh, seperti membuka perspektif baru, sebenarnya setelah beberapa bulan berlalu dan aku disibukkan dengan hari-hariku yang penuh kegabutan, aku semakin menenggelamkan dan melupakan drama tersebut. Ketika melihat dia ya ada yang beda, tapi aku biasa aja. Sepertinya, aku sudah ikhlas dengan hal itu, kan? Karena aku bersikap biasa aja, ya meski ada hal yang kujaga dalam berinteraksi dengannya. Namun, aku mencoba senatural mungkin ketika bercengkrama pendek dengannya.

Terlebih lagi, Subhanallah masalah kayak gini tuh gak penting banget rasanya aku resapi dalam setiap napasku yang berharga, aku hanya perlu menjadikan itu pembelajaran dan tetap memandang perilakunya yang salah bukan orangnya. Masalah emosi bisa kepada siapa aja datang.

Mungkin jika diriku membaca kisah ini beberapa puluh tahun kemudian bisa saja tertawa terbahak-bahak dan mengatakan ini alay or something like that. Tapi percayalah, kedewasaanku gak mungkin datang kalau setiap masalah gak ada alias aku cuma jadi anak kecil polos yang menganggap dunia baik-baik saja ah dan menyenangkan selalu.

Intinya sih, aku gak mau ada kemarahan lagi didirku terhadap masalah ini, aku mau melepaskan hal negatif tentang ini. Dan untuk dia, aku gak benci kamu ko Mbak dan aku harap kamu juga. Kita sama-sama tahu ini salah dan semoga kita bisa tetap mengaitkan tali pertemanan.

Oke? Kita masih remaja, jadi wajar aja hehehe, dan makasih mau banyak bagi watak-watak manusia ke aku, sekarang makin bisa ngeh ke hal pertemanan.

Semoga kita sama-sama sukses ya hehehe!

Interpretasi ReminisensiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang