01. Tragedi 12 Tahun Lalu

136 34 8
                                    

sreeet!

Sempurna, anak panah Gaby tidak pernah meleset. Gadis itu tersenyum miring lalu pergi mencari kursi yang kosong.

Gaby mengambil air dari saku tasnya, lalu meminumnya dalam sekali tegukan sampai tersisa setengah.

"Diz," sapa Gaby yang melihat Dizza berjalan kepadanya. "Lo liat.. Errr Virgo?" tanyanya hati-hati, takut ketahuan seseorang.

"Enggak tahu tuh," sedetik kemudian, Dizza menatap Gaby sambil menayangkan tatapan usilnya, "Tumben lo nyari Vivi. Kemaren aja lo perang sama dia." Dizza tertawa membuat Gaby kesal.

"Tadi pas gue pulang, ternyata dia kirimin coklat ke rumah gue. Malah disimpen di bawah pintu lagi!" katanya rada nyolot karena kesal. "Gue heran deh, Diz. Tuh anak kenapa sih ganggu gue mulu? Padahal gue udah nolak dia selama lima kali."

"Lo mau apain coklat itu emangnya?" tanya Dizza membuka kemasan keripik singkong.

"Ya gue kasih Ciara lah. Emangnya gue mau terima coklatnya gitu aja?" emosinya tersulut. "Kalo ketemu, gue omelin aja tuh anak biar tau rasa!"

"Hmm. Dia udah cinta banget sama lo Gab, dia cinta mati. CIN-TA MA-TI." katanya yang kini mengunyah keripik singkong. "Kalo gue saranin, lo tolak aja semua barang-barang pemberiannya dengan halus kalo lo beneran nggak suka sama dia. Jangan lo buang atau kasih ke orang lain, Gab." Gaby terdiam memikirkan saran Dizza. "Gue tau perasaan seseorang itu nggak bisa dipaksa, tapi setidaknya lo hargain dia yang udah buang-buang waktu dan uang buat beli barang buat lo, walaupun lo nggak suka dia."

Gaby terdiam, memikirkan kata-kata bijak Dizza. Dizza asyik melahap keripik singkong rasa balado yang tadi dibelinya di minimarket.

"Lo tau gue kan Diz, kalo gue udah benci ya gue bakalan benci dia selamanya sampe gue rasa dia—" ucapannya terhenti ketika melihat raut wajah Dizza yang melongo melihat sesuatu dibelakang Gaby. "Kesabet apaan lo jadi kayak gitu?"

Dizza tak menjawab, hanya menunjuk-nunjuk sesuatu dibelakang Gaby dengan raut wajah sama.

"Apaan sih!" Gaby mulai kesal melihat Dizza yang masih diam.

Menyerah, Gaby akhirnya menoleh ke belakang dan menemukan cowok tinggi yang Kayona sering bilang dia mirip seperti Lee Min Ho. Padahal, mirip darimananya sih?.

"Ngapain lo disini?" tanya Gaby. Gadis itu melipat dada lalu menatap Gemma tajam tepat kearah matanya. Cukup lama Gemma tak bersua, membuat ia pun kesal dan menarik tangan Dizza ingin membawanya pergi menjauh dari Gemma. "Pergi lo kalo lo nggak bisa ngomong."

Gaby berjalan menjauhi Gemma. Dizza sedari tadi memanggil-manggil namanya memintanya untuk sedikit sopan kepada kakak pelatih. Namun, Gaby tak mengindahkan ucapannya.

"Gaby, lepasin! Lo ngomong dulu sama dia, minta penjelasannya. Jangan kabur dari masalah gini, Gab. Kalo lo kayak gini, lo kalah Gab." ucapan Dizza menghentikan langkahnya. Gaby menatap Dizza dan Gemma bergantian, lalu menghela nafas dan akhirnya terpaksa menuruti saja ucapan Dizza.

Gaby melepaskan cekalan tangannya di pergelangan tangan Dizza, matanya menatap Gemma dengan sorot mata benci dan amarah yang berkobar-kobar. Kali ini, Gaby tidak akan lari dari masalah seperti yang dilakukannya ketika bertemu Gemma dulu.

Dizza akhirnya mengerti dengan suasana dan memilih untuk pergi saja, memberikan ruang untuk mereka. "Gue nyari Falgo dulu, Gab." Gaby mengangguk. "Jaga ucapan lo. Jangan mudah tersulut emosi, kalo lo emosian berarti lo kalah." ia tersenyum sebelum meninggalkan Gaby.

Setelah Dizza menjauh, Gaby menghampiri Gemma yang sudah duduk dibangku yang ditempatinya tadi. Cowok itu sedang menatapnya dengan sebelah alis.

"Ayo kita bicara di tempat yang lebih sepi." Gemma berdiri, lalu berjalan duluan dan Gaby pun hanya bisa pasrah mengikutinya.

Sesampainya di taman belakang sekolah, Gemma dan Gaby kini duduk dibangku yang ada disana. Suasana sangat canggung, sampai hanya suara beberapa kendaraan yang mengisi keheningan mereka.

"Gue minta maaf," kata Gemma dengan datar membuat Gaby menoleh. "Soal.. Soal dua belas tahun yang lalu, gue minta maaf."

12 tahun sebelumnya..

Keluarga hangat itu tertawa bersama menikmati candaan-candaan dari sebuah siaran televisi yang menayangkan drama komedi.

"Gabliel mau pangku, Mah." kata anak yang berumur lima tahun itu kepada Mamanya yang sedang asyik menonton televisi.

Mama Vira namanya.

Vira menoleh kepada anak bungsunya lalu menyunggingkan senyum. Tangannya mengusap surai hitam milik Gabriel dengan lembut.

"Sini, sayang." Vira menepuk pahanya meminta Gabriel untuk duduk disana. Gaby menurut, ia duduk di pangkuan Mamanya. "Kamu nggak main lagi sama Gege, Gab?" tanya Vira kemudian. Gabriel menggeleng kemudian memeluk Mamanya dan menumpahkan tangisannya di bahu Vira. "Lho, lho.  Kamu kenapa sayang?" tanyanya panik.

"Kata Aska, Gege nonjok pipi Aska sampe pipi Aska beldalah." katanya dengan isak tangis. Papa Rio dan Lorenzo kini memerhatikan Gabriel dengan tatapan penasaran. "Kasian Aska, pipinya jadi sakit kaya gitu."

"Kamu kenapa?" itu suara Lorenzo. "Eskrim kamu jatuh lagi?! Cengeng banget, sih." katanya kesal sambil meninggalkan ruang keluarga. "Itu eskrim mahal, dan itu aku yang beliin dia." gerutunya sambil melangkah.

Rio menghela nafas dan menyuruh Lorenzo diam. Lorenzo akhirnya mendengus lalu menurut.

"Udah sayang, nanti kita tegur Gege sama-sama ya? Kamu jangan nangis lagi." ucapan Vira membuat Gabriel mengangguk dan melepaskannya.

Sejak saat itu, hidup mereka tenang-tenang saja sampai ada berita tentang keluarga kecelakaan hebat karena mobil yang mereka tumpangi bertabrakan dengan mobil truk.

Anak-anak dari keluarga itu selamat. Kecuali ayahnya. Tapi, anak bungsu dari keluarga mereka mengalami amnesia atau hilang ingatan.

Itu membuat Gabriel sedih. Mereka adalah sahabatnya yang ia sayangi.

Tapi, fikiran labil anak berumur lima tahun itu berpikir bahwa anak tertua dari keluarga itu yang membuat mereka celaka.

"Gege yang bikin lem (rem) nya blong. Waktu itu Aska bilang, Gege minta sama Papahnya buat belhenti dulu di toko mainan buat beli mainan. Tapi, Papahnya bulu-bulu (buru-buru) dan enggak mau belhentiin mobilnya. Lalu.. Gabriel nggak tau, Aska gak bilang apa apa lagi." itu kata Gabriel saat ia bertanya hal itu kepada Aska.

• • • 

"Minta maaf?" Gaby tertawa renyah, membuat Gemma menghela nafas tak tau harus bagaimana caranya meyakinkan cewek ini. "Jadi bener lo yang bikin Aska amnesia? Lo yang bikin rem mobil itu blong?! Lo yang bunuh Om Ginanjar?!" emosi Gaby menyulut.

Gemma akhirnya bersuara, "Perlu berapa kali gue yakinin lo kalo cerita itu cuma karangan Aska!? Yang bikin Papa meninggal dan bikin Aska amnesia itu bukan gue, Gaby." 

Gaby menggeleng, lalu berdiri dan segera meninggalkan Gemma disana dengan tangisan yang tertahan.

"Gab, Gaby!"

• • •


#01 | BOOMERANGTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang