Prolog

85 6 2
                                    

“Abang, kenapa Mama menangis?” tanya gadis kecil yang berdiri tak jauh dari ruang tamu dengan boneka dalam pelukannya. Terlihat jelas di depan mata kedua anaknya pertengkaran itu. Seorang wanita yang berlutut dengan sesenggukan tangis  dan nada bentakkan dari pria yang berada di hadapannya dengan suara yang memenuhi seluruh ruangan. Merekalah Mama dan papa, setiap papa pulang kerumah hanya keributan yang terdengar di rumahnya. Terkadang hanya karena tak ada makanan ketika papa pulang atau karena papa yang jarang pulang dan Mama merasa kesal. Keluarga yang dulunya terlihat sangat harmonis kini entah mengapa terasa hancur berkeping-keping. Rumah yang dulunya di penuhi dengan tawa riang kini menjadi seperti neraka bagi gadis kecil dan abangnya.

“Abang, Callista takut…,” lirih gadis kecil pada abangnya. Alfredo, segera menarik adik kecilnya dalam pelukan. Memberinya kenyamanan agar tidak lagi merasa takut.

Papa yang selalu sibuk dengan kerjaannya sebagai CEO di salah satu perusahaan ternama di Jakarta. Mama yang merasa kesepian karena papa jarang pulang dan akhirnya menyibukkan diri dengan bisnis online bersama teman arisan sampai mereka lupa pada kedua anaknya yang butuh kasih sayang darinya. Selama ini Alfredo dan Callista lebih dekat dengan pembantu rumahnya. Apapun perlengkapan mereka bibilah yang menyediakannya, dari sarapan pagi Hingga keperluan sekolah hingga pulang sekolah lagi.

Suatu ketika pertengkaran diatara orang tuanya semakin menjadi, bahkan papa sampai menekankan untuk bercerai dengan Mama. Mama yang tidak terima memutuskan untuk mengakhiri hidupnya. Hidupku hancur. Callista yang tak biasa tanpa Mama dengan kepergian Mama membuatku jadi pendiam, sempat juga aku mengurung diri di kamar dan mogok makan  beberapa hari. Meskipun mamanya jarang dirumah Namun Callista sangat menyayangi kedua orangtuanya itu. Dengan kesabaran bibi, callista berhasil di bujuk untuk keluar dari kamar. Tak lama setelah kepergian mama, papa menikah dengan teman sekantornya. Callista dan Abangnya tetap tinggal bersama papa dan mama tirinya itu. Meski sebelumnya Callista menolak untuk tinggal bersama, namun papanya bukanlah orang yang bisa di bantah.

Begitu pahit kenyataan masa kecil yang harus Callista terima. Sampai ia harus menutup rapat-rapat cerita masa kecil pada siapapun. Semenjak kepergian mamanya hidup tetap saja sepi tanpa seorangpun yang mau bersahabat dengannya membuatnya jenuh sendiri. Hanya Alfredo dan teman sebangkunya kini yang selalu ada buatnya. Senyuman manis yang dulu, kini tak lagi terlihat di wajahnya. Bahkan dirinya jauh berbeda dengan dirinya waktu kecil. Tak ada lagi gadis periang dan lucu. Sikapnya berubah menjadi cewek bodoamat dan jutek pada siapapun sebab masa kecilnya yang tak bahagia.

“Ma, apa kabar? Lihatlah Caca sekarang udah pakai seragam putih abu-abu. Mama pasti bahagia lihat Caca kan dari atas sana?”

Gadis yang  jongkok di depan gundukan tanah kering berbicara dengan santainya seakan ada teman lawan bicara. Tubuhnya bergetar kencang menahan isak tangis yang sedari tadi ditahannya. Taburan bunga mawar kini menutupi tanah yang gersang itu. Di sanalah tempat Callista mengadu segala keluh kesahnya. Di bawah gundukan tanah terbaring sesosok wanita yang telah melahirkan Callista dan Abangnya. Dialah Mama, seseorang yang Callista rindukan selama ini.

“Papa dan Mama tak pernah menyayangi Callista …,” batinnya mengatakan hal yang dirinya rasakan selama ini. Hidup pada keluarga lengkap namun, tak sedikitpun ia dapatkan kasih sayang dari kedua orangtuanya.

CallistaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang