Part 4- Penasaran

13 1 0
                                    

“Di saat raga menolak untuk mendekat justru kamu selalu hadir menganggu pikiranku tanpa jarak.”

~Michael Mahendra~


Enggak terasa sudah empat bulan Callista berada di sekolah barunya. Beradaptasi dengan orang-orang yang belum sama sekali di kenalnya. Bersikap layaknya anak baru, polos dan tak salah lagi, di bully. Merepotkan. Apalagi dengan sikapnya yang terbilang cuek, membuatnya tak banyak bicara pada siapa pun kecuali bicara hal penting. Tak lain bicara pada gurunya.

“Pagi anak-anak,” sapa pak Samsul, guru olahraga SMA Tunas Bangsa.

“Pagi pak,” jawab serentak oleh para siswa. Pagi ini kelas 11 Ipa 2 sedang pelajaran olahraga di lapangan. Seperti biasa sebelum olahraga, pak Samsul mengambil absen dan memberi pemanasan terlebih dahulu.

“ Oke anak-anak semuanya hadir ya. Kita lanjut pemanasan terlebih dahulu. Kali ini bukan bapak yang memberi aba-aba pemanasan tapi dari kakak kelas kalian.” Jelasnya panjang lebar dengan nada formal.

“Hei kamu pecel,” teriak pak Samsul pada cowok yang di paanggilnya pecel. Di lapangan basket kelas 12 Ips 1 sama sedang ada pelajaran olahraga.

“Mich, Lo di panggil pak Sam tuh,” ucap salah satu temannya.

“Gue …,” Michael menunjukkan jari pada dirinya sendiri, “ nama gue M.I.C.H.A.E.L bukan pecel. Enak aja ganteng gini di samain sama pecel.” Michael mengeja namanya dengan nada sebal. Teman-temannya hanya menertawainya jail.

“Udah buruan sono samperin, sapa tau dia mau ngakuin jadi fans Lo,” ejek teman-temannya dengan gelak tawa.

Michael yang merasa terusik oleh teriakan guru olahraganya, ia bergegas menghampirinya. Tak mau basa-basi Michael menanyakan apa tujuannya pak Sam memanggilnya. Seperti biasa, Michael akan menolak mentah-mentah perintah gurunya tersebut. Dengan sifat tengilnya dan lagi-lagi Michael selau memberinya syarata agar guru tersebut mengakuinya sebagai salah satu fans dirinya. Namun, bukan Pak Samsul namanya, jika mengiyakan begitu saja permintaan muridnya yang sableng itu. Terkadang Michael malahan mendapatkan jeweran di kupingnya atau hukuman lari keliling lapangan. Bukannya malu mendapatkan hukuman, ia justru senang karena dapat tenar dan tebar pesona pada adik kelasnya. Dasar sok kegantengan!

Kriing kriing kriing

Jam pelajaran olahraga pun telah usai, habis hanya dengan terisi perdebatan antara Michael dan pak Samsul.  Bunyi bel menggema sedari tadi. Setelah ganti baju Callista dan Talia sengaja pergi ke kantin untuk mengisi perutnya terlebih dahulu lalu bergegas masuk kelas.

Pelajaran selanjutnya pun sudah di mulai. Bu Susi, Guru bahasa Indonesia dengan tlaten dan sabar menjelaskan materi di depan. Tak heran lagi mereka yang duduk di belakang menyenderkan kepalanya di meja. Tidur ! Jelas bagaiman enggak suara lembut Bu Rini bagai kain sutra yang menyihir muridnya untuk beradu dengan mimpi. Alunan melodinya bah angin surga yang dapat di nikmati dengan sempurna. sungguh nikmat dunia. Apalagi Tegar  teman kelasnya yang di juluki si kebo di kelas tak pernah tidak tidur bahakan sering meninggalkan jejak di mejanya. Memalukan.

Callista pun sendiri serasa ikut tersihir. Mulutnya berkali-kali menguap namun di tahannya dengan topang dagu agar ia tak tertidur di meja.

“Cal, Lo tau nggak sih cowok  yang dipanggil pak Sam waktu olahraga tadi,” lirih Talia pada Callista.

“Enggak, emang dia siapa?” ucap Callista penasaran dengan memeprhatikan pelajaran yang membuatnya mengantuk.

“Lah, Lo beneran gak tau, Cal?” Kini suara Talia terdengar keras memenuhi ruang kelas.

Seisi kelas menatap Talia penasaran yang kemudiaa di susul gelak tawa di penjuru kelas. Seketika Bu Susi yang merasa tak di pedulikannya hanya kembali menatap tajam murid sekelas terutama pada talia.

Mampus. Bu Sus liatin gue lagi sampe mau copot tuh mata. Bisa malu banget gue kalo sampe kena hukuman tuh guru. Aah, bodoamat lah.

“Huuh, lega gue, Cal. Untung tuh guru cuma melototin gue doang.” bisiknya.

Talia menghela nafas lega. Kali ini dirinya benar-benar beruntung bisa lepas dari tatapan tajam Bu Susi. Bisa di bilang keajaiban ini, guru killer macam Bu Sus melepas mangsanya begitu saja tanpa menyentuhnya sama sekali. Ha ha ha. Dari mana dibilang killer ! Jangan salah, biar suaranya lembut tapi kalo marah melebihi singa yang mengamuk. Bisa jadi atap kelas jebol atau minimal gedung sekolah roboh.

“Eh, bentar deh lo beneran gak kenal dia, Cal? Imbuh Talia dengan pertanyaan yang masih sama.

Heran deh enggak ada capeknya  Talia nanya itu Mulu, “Aku nggak kenal, Lia. Udah ah! nggak penting juga ngomongin dia.” Cibirnya.

Callista benar-benar bosan dengan pertanyaan yang selalu sama di ucapkan oleh sahabatnya itu. Nggak habis pikir, siapa sih dia sampai-sampai Talia begitu kepo padanya. Bahkan kini Callista tak lagi fokus memperhatikan pelajaran bahasa Indonesia. Di samping ia mengantuk, dirinya pun justru terbayang-bayang oleh sosok yang di bicarakan oleh Talia tadi. Dia pemilik mata itu. Mata yang pernah berpadu dengan pandangannya waktu berada di kedai es kri langgananya itu. Mungkin dia tak kenal Callista, siapa sih hanya cewek cuek dan irit bicara. Begitupun Callista yang tak perduli dengan dia yang sama sekali tak ingin di kenalnya. Dirinya kini mengingat-ingat kembali kejadian beberapa bulan yang lalu.

“Dek, Abang ke toilet dulu ya,” pamitnya pada Callista setelah pelayan itu pergi.

“Jangan lama-lama, bang.” pintanya. Callista memandangi seisi kedai yang tampak masih sama postur penataannya. Hanya kursi kini yang bertambah banyak. Saat itu juga matanya tak sengaja bertabrakan dengan mata seseorang.

“Hay, cantik,” teriak cowok sok cool dengan melambai tangan. Bukan, bukan pemilik mata itu yang melambaikan tangannya tetapi temannya, ya mungkin atau bodyguard-nya bisa jadi.

Callista yang tak merasa teriakan itu untuknya hanya diam dan mengalihkan pandangannya. Ia berganti memainkan ponselnya yang sebenarnya tak ada menghubunginya. Konyol.

“Lo, Callista si cewek cuek itu ya?” tanya seseorang yang tak di sadarinya sudah duduk di sebelahnya. Callista kaget, merutuki diri sendiri yang tak sadar oleh hadirnya. Dengan wajah gugup dan cuek Callista hanya mennggukkan kepalanya. Cowok di sebelahnya menaikkan alis merasa heran. Kenapa ada cewek secuek ini padanya. Padahal siapapun cewek yang bertemu dengannya selalu memujinya dengan ketampanannya itu. Berbeda dengan Callista uang justru bersikap cuek dan bodo amat. Sikap cuek Callista membuat Michael semakin penasaran. Namun, belum sempat berbicara banyak dengan Callista, datang seorang cowok ya, lumayan tampan lah, duduk di kursi depan Callista.

“Tuh, pacarnya udah datang. Bye, semoga ketemu di lain waktu. Gue pastiin itu!” Michael kembali ke tempat teman-temannya berada.

Aisshh!

Mengingat kejadian-kejadian itu membuat otaknya sedikit geser sepertinya. Dirinya senyum-senyum sendiri tak jela, kemudian menghela nafas pelan. Pikirannya lelah yang di penuhi oleh cowok itu. Bagaimana bisa abangnya sendiri di sangka pacar? Hah, lelucon apa lagi ini. Sedangkan Talia masih sibuk menyalin jawaban tugas bahasa Indonesia milik Callista. Beberapa menit yang lalu Bu Susi pamit ada acara rapat, dan akhirnya kelas 11 Ipa 2 hanya di beri tugas. Suasana kelas di tanpa guru. Ramai! Sudah pasti. Bahkan Juan, tak bisa lagi bagaimana ngadepin teman-temanya yang kadang kocak kadang pula ngeselin. Sebagai ketua kelas Juan mempunyai tanggung jawab besar pada teman-temannya. Siapapun yang salah pasti ia tegur. Tak Mandang mereka anak pejabat atau pemilik sekolah ini sekalipun.

“Wat, bantuin gue bwain buku anak-anak nih ke meja Bu Sus,” pinta Juan dengan muka memelas.

“Wahhh, Lo cowok bukan sih!” Tukasnya, “Lo bawa sendiri sono, ogah gua jauh-jauh jalan ke ruang guru.” tolaknya lalu pergi keluar.

Juan, mau bagaimana lagi. Kelasnya sudah sepi, hanya tinggal Wati yang bisa dimintai tolong. Namun, ia malah di tinggal pulang olehnya. Callista dan Talia sudah pulang sejak setengah jam yang lalu. Juan dan Wati pulang terakhir karena memang hari ini adalah jadwal piket nya untuk menyapu ruang kelas sebelum pulang. Ia buru-buru pergi ke kantor dan pulang kerumah dengan selamat.

CallistaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang