“Sebuah kebencian yang menjadikan hati seorang menjadi beku sebab, dipisahkan dengan orang yang begitu amat di sayangi”
~Callista Arya Adresson~
Sore ini, Callista duduk di Taman belakang rumah bersama molly. Disana, tempat yang membuatnya merasa tenang setelah kamarnya. Pohon mangga yang masih setia menemaninya sedari kecil semakin meninggi dengan ranting yang tak terbungkus daun lebatnya. Berguguran tersapu angin. Callista tak bergeming dari tempatnya. Tangannya masih membelai bulu halus milik Molly dengan penuh rasa sayang. Hingga sepercik jingga di peraduan cakrawala menelisik netra yang memandangnya. Burung-burung riuh mencari tempat berpulang mengantarkan sang Bagaskara tenggelam.
Molly terlihat kurus karena beberapa hari tak di rawat oleh pemiliknya. Callista sibuk dengan tugas sekolah dan Alfredo sibuk dengan acara di kampusnya. Terkadang ia pun lupa memberinya makan molly. Kejam! Ia masih ingat saat pertama kali menemukan molly di jalan dekat rumahnya. Dulu Callista masih sekolah SMP. Karena jarak sekolah dengan rumahnya yang dekat Callista memilih untuk jalan kaki pulang pergi ke sekolah. Waktu itu Callista mendengar suara kucing yang mengeong. Lalu ia mencarinya mengikuti arah suara itu. Alhasil di got tempat saluran air molly itu berada. Dengan kalung yang menggantung di lehernya dengan bandul yang berinisial ‘M’. Mungkin itu nama pemiliknya, Milea, Marsha atau Michael. Aah! Mengingat sepintas nama yang ia sebutkan terakhir mendadak Callista terbuyar dari lamunannya. Cowok yang menyebalkan dan juga urak-urakan.
Kini matanya beradu dengan senja. Indah dengan Mega merah di luasnya angkasa. Pandangannya seakan mencari sesuatu yang belum juga bertemu dengan sebuah jawaban. Mengapa Mama tega meninggalkannya? disaat dirinya membutuhkan sebuah pelukan kasih sayang. Bukan pukulan oleh kepergian sang Mama. Sebuah bulir berhasil lepas menelusuri pipi chubynya. Di biarkannya saja menetes dengan sempurna. Isaknya lirih dengan napas berat yang di tahannya. Seolah ia kehabisan nafas, benar-benar berantakan. Pikirannya tak dapat lagi tenang. Molly seakan mengerti apa yang di rasakan Callista saat ini. Molly mendekat dalam pangkuan Callista memberikan kekuatan untuk tetap tegar.
“Senja dan Mama. Itukah sebabnya kamu sering menghabiskan waktu soremu disini?” Mendengar suara yang di kenali pemiliknya segera Callista menghapus air mata yang masih saja mengalir. Biarpun airmatanya tak terlihat lagi namun matanya terlihat masih sembap sebab terlalu lama menangis. Bahkan ia tak sadar sang Bagaskara t'lah pulang.
“Abang tau, Abang juga sering mergokin kamu nangis disini,” ucap Alfredo, “senja dan Mama sama-sama memberi keindahan di kehidupan kita. Lihatlah sekarang, bukankah keindahan senja hanya sekejap? Lalu apa bedanya dengan Mama? Imbuhnya bicara mencoba menjelaskan dengan pandangan yang penuh dengan harapan.
“Ingat dek, sejatinya perpisahan itu bukan berarti kehilangan. Terkadang di balik itu semua Tuhan telah menyiapkan kejutan untuk kita.” Alfredo dengan runtun menjelaskan pada Callista.
Callista masih tak mengerti dengan semua yang di ucapkan Abangnya. “Kamu harus banyak belajar dari senja bukan hanya menikmati di setiap keindahannya saja. Mungkin matahari akan pergi meninggalkan langit, tapi di balik kegelapan malam yang datang Tuhan menghadirkan bulan dan bintang dengan cahaya yang tak kalah terang.” Callista menatap mata Alfredo dengan pasti. Mencari arti dari setiap kata yang diucapkan Abangnya. Bagaimana bisa abangnya mengetahui permasalahan hatinya yang sama sekali tak seorang pun harusnya tau. Ia tak menemukan jawaban apapun disana.
Diam. Apalagi yang bisa Callista lakukan. Dirinya sudah tertangkap basah oleh abangnya. Sungguh, saat ini ia benar-benar butuh pundak untuk bersandar. Mungkin dirinya bisa menutupi airmatanya dari orang-orang. Namun, tidak pada Abangnya itu. Seseorang yang memberikan kekuatan setelah patah dari masa lalunya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Callista
Random"Sendiri tidaklah masalah untukku, karena diam terkadang lebih menenangkan dan keramaian hanya membuatku semakin tertekan." Callista