7: Awal

52 4 0
                                    

"Karena dia terlalu sering berpura-pura kuat membuat semua orang berpikir dia baik-baik saja padahal dia sedang runtuh."
***

Esoknya Anin menemani Assafa dan Davino berjalan-jalan di sekitar rumahnya. Kawasan rumah Anin masih sangat bersahabat dengan alam. Kebisingan jauh dari kata itu. Mungkin suasana teramat tenang di sini, tetapi jiwa Anin tetap berderu-deru ketakutan.

"Davino!"

Seorang laki-laki berlari menghampiri mereka bertiga-Davino, Anin, dan Assafa-. Anin mengecilkan tubuhnya dengan cepat di belakang Assafa. Dia sangat ketakutan jika harus bertemu dengan seseorang di Lembang, baik itu yang dekat dengannya atau hanya seorang kenalan.

"Lo Kaila Anindira?" tanya laki-laki itu sambil mengamati Anin yang sedikit bersembunyi.

Anin terkesiap lalu tersenyum canggung, sedangkan laki-laki itu menatap intens sambil tersenyum penuh arti.

Anin tidak terlalu merespon laki-laki tersebut. Dia disibukkan dengan segala macam kemungkinan kelak.

"Iya Wil. Anin anak SMP Jaya Bakti Juga," ucap Davino mengambil alih hak untuk menjawab.

Wildan, laki-laki tersebut menyipitkan mata tidak percaya, "kok bisa jadi berdua? Saling kenal gitu?" tanya Wildan karena sepengetahuannya kemarin Davino tidak terlalu mendambakkan Anin. Bahkan Davino tidak pernah ingin tahu Anin yang mana?

"Ketemu di Depok Wil. Kebetulan Assafa teman gue di Depok dan Anin ini udah saudaraan sama Assafa sekarang," jelas singkat Davino.

"Oh jadi gadis satu ini anak Tante Ratih juga?" Wildan mengangguk mengerti.

"Iya, gue Assafa." Assafa mengulurkan tangannya dan Wildan menjabat tangan Assafa.

"Gue Wildan."

Sementara Davino, Assafa, dan Wildan sibuk bercengkrama, Anin juga sibuk memikirkan kemungkinan yang berbahaya untuknya. Tiba-tiba emosi sedikit menjadi abnormal. Anin tidak boleh menjalarkan emosinya, semakin berbahaya.

"Gimana kabar lo akhir-akhir ini, Nin? Lagi terpikir sesuatu?" Wildan melemparkan pertanyaan pada Anin yang masih setia berdiam diri.

"Baik.. kok.. semuanya baik.. yaah.." balas Anin terbatah-batah. Pikirannya masih sangat kacau karena emosinya terus naik-turun.

"Gue ngedukung lo kok Nin," kata Wildan terdengar seperti memahami sesuatu yang tidak beres pada Anin.

Anin hanya tersenyum dan diam seribu bahasa.

"Gue denger kemarin lo sekolah ke luar negeri, Wil?" Davino menyadari raut wajah Anin semakin terlihat tidak tenang.

Wildan terkekeh pelan, "sempat berencan Dav tapi tiba-tiba mama gue sakit jadi gak tega buat ninggalinya. Sekitar sebulanan sempat tinggal di Amrik si, tapi pulang lagi."

"Masih suka nulis-nulis Wil? Gue liat medsos lo penuh banget ya sama kepuitisan hidup lo," sambar Davino dengan terkekeh pelan.

"Masih kok, hitung-hitung buat olahraga jari lah," kekeh pelan Wildan.

"Ada-ada aja lo Wil." Davino terkekeh juga. 

"Btw kalian satu sekolah juga?" Wildan membuka pembicaran lain lagi. 

"Gue enggak kok." Assafa menjawab dengan cepat, "gue homeschooling tapi Davino sama Anin satu sekolah kok."

Anin dan Davino meng'iya'kan bersama.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jan 09, 2019 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Inisial WTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang