" Halo? Osen kamu dimana? "
" Walaikumsalam "
" Oh ya lupa Assalamualaikum hehe "
" Aku di kantor Di, Kenapa? "
" Kalau gitu aku ke kantor kamu ya? udah jam makan siang kan ini? Mau makan siang bareng kamu. "
" Wah tumben, yaudah aku tunggu ya "
Disini lah Dian sekarang, di dalam mobil yang akan segera menuju ke kantor Arseno untuk makan siang bersama.
Sebenernya itu hanya alibi sih, Dian biasanya ngajak Kiya atau pun Egi buat makan siang. Cuman masalahnya dia sekarang lagi suntuk banget gara-gara ketemu sama Farrell tadi, kalau udah gini ya emang cuman Arseno yang bisa balikin mood Dian jadi baik lagi. Mangkanya tadi Osen juga bilang tumben kan, karena emang se—jarang itu mereka makan siang bareng,
biasanya dinner maksudnya.
Sampainya Dian di kantor Osen dia langsung berjalan menuju ke kafetaria yang berada di lantai 5, sambil menunggu lift membawanya menuju lantai 5 handphone yang di pegangnya pun bergetar menandakan telefon masuk, baru ingin di angkatnya lift sudah terbuka dahulu dan tampak Osen yang sedang melambai-lambai menyuruhnya mendekat.
Seketika Dian pun lupa akan panggilan telfon yang harus di jawab nya tadi dan dia malah berlari berhambur melompat ke pelukan Osen.
" Aduh Di, pelan-pelan dong. Nanti kalau jatuh gimana? " jawabnya sambil memeluk balik Dian
Dian terkekeh ringan, " Biarin. Kan ada kamu yang nangkep aku kalau aku jatuh "
" Wah iya bener juga ya. Aku bakalan selalu siap nangkep kamu kalau kamu jatuh, tenang aja. "
" By the way kamu tumbenan mau makan siang bareng? Biasanya ngajakin dinner. Kenapa hm? Ada yang ganggu pikiran kamu ya? Mau cerita ? " lanjut Arseno lembut
Dian hanya terdiam dan semakin mempererat pelukan nya pada Arseno, dia belum siap untuk menceritakan semuanya pada Osen kalau Si pembuat luka nya telah kembali.
Menurutnya sekarang dia hanya ingin menikmati pelukan hangat Osen sebagai obat untuk hari buruk yang dia alami hari ini.
" Gapapa kok Osen. Gak ada apa-apa, Aku cuman lagi pengen aja makan siang bareng kamu. " jawab Dian menyakinkan
Osen hanya menghela nafas dan mengelus puncak kepala Dian lembut, " Yaudah kalau belum mau cerita sekarang gapapa. Nanti kalau udah siap cerita, cerita aja ya aku siap dengerin cerita kamu. "
Dian hanya mengangguk kan kepalanya sebagai jawaban.
Ini nih yang Dian suka dari Osen, dia itu ga pernah nuntut macem-macem dan selalu ngerti keadaan Dian, Osen itu juga lembut banget hampir gak pernah marah, Dian bener-bener ngerasa dijaga banget.
Ini juga sebenernya yang jadi problem lain Dian dalam hati, sebenernya Dian itu juga udah cinta mati banget sama Osen. Udah bener-bener kalau ga ada Osen, Dian ga hidup gitu. Tapi ya, untuk jalanin komitmen sama orang Dian sendiri masih trauma, karena menurut pemikiran Dian itu laki-laki waktu udah pacaran sama sebelum pacaran itu beda.
Kalau belum pacaran aja pasti bakal di sayang-sayang, ga di sia-sia in lah intinya, tapi kalau udah jadi pacar pasti di sia-sia in karena udah ngerasa memiliki.
Menurut Dian juga pada dasarnya laki-laki itu hanya berjuang di awal. Kalau udah dapet yaudah ga berjuang lagi.
Bukannya Dian mau meragukan Arseno, tapi ya namanya juga trauma.
Butuh waktu, semua itu membutuhkan waktu. Sama hal nya dengan mengobati hati, dan waktu yang dibutuhkan seseorang untuk menyembuhkan hatinya itu gak sama. Setiap orang berbeda.
Dan dalam kasusku, aku sekarang masih belum siap. Sangat belum siap untuk memulai komitmen dengan seseorang jika akhirnya hanya untuk ditinggal pergi lagi.
Aku gak butuh yang kayak gitu.
Yang sibuk membicarakan masa depan bersama saat ini pun, bukan gak mungkin gak pergi meninggalkan.
Arseno menyerngit heran melihat Dian yang hanya diam saja dan hanya mengaduk-aduk makanannya, " Dian? Di? " sambil mengibas-kibaskan tangannya ke depan wajah Dian, berharap Dian segera sadar.
" Sayang? "
" Eh iya? Kenapa Osen? " jawab Dian gelagapan karena ketahuan ngelamun
" Dih, dipanggil sayang aja langsung nyaut " ejek Arseno
Dian mengerjap dan baru tersadar jika Osen tadi memanggilnya dengan sebutan sayang, " Ih apa siih " jawabnya malu sambil mencubit kecil tangan Osen.
" Habisnya, ngelamun apa sih? Awas ya kamu kalau ngelamun macem-macem. Ngelamunin masa depan kita ja Di, kan udah jelas. " katan Osen sambil menaik-naik kedua alisnya jenaka
" iya, aku tadi lagi ngelamunin masa depan kita. Puas? " jawab Dian jengkel
" iya udah biasa aja sih, gausah sambil manyun-manyun gitu bibirnya. "
Dian hanya melongos dan mencibir, tidak berniat menanggapi candaan Osen.
Diemin aja lah, nanti ga selesai-selesai, batinnya
Baru saja keduanya hening dan tenang menikmati makanan masing-masing, kedua handphone dua insan itu berbunyi secara bersamaan menandakan ada telefon yang masuk. Kedua pun bergegas secara bersamaan mengangkat telefon tersebut yang isinya segera menyuruh mereka untuk kembali ke pekerjaan masing-masing karena harus ada yang segera di selesaikan.
" Yah Osen, kamu juga udah di suruh balik ya? "
" Iya Di, aku udah harus balik lagi. Soalnya habis gini mau ada rapat besar. Gapapa kan ya? kamu juga udah di suruh balik butik lagi kan? " jawab Osen merasa tidak enak, padahal makanan mereka pun sama-sama belum habis
" Iya udah gapapa kok, kamu balik aja. Aku juga udah harus balik. Semangat kerjanya ya Osen. " sambil mengepalkan salah satu tangannya menyemangati
" Pasti sayang, " jawab Osen dengan senyum miring menggoda
" dah ya aku pergi, dadah " lanjutnya sambil beranjak bangkit lalu mencuri kecupan kecil di puncak kepala Dian
Dian otomatis membulatkan matanya kaget dan memukul kecil punggung Osen karena malu di liat oleh banyak karyawan, Osen pun hanya tertawa kecil menanggapi itu.
Sepeninggal Osen, Dian juga segera bergegas untuk pergi kembali ke butik karena tadi juga--asisten nya sudah menghubungi nya berkali-kali menyuruhnya untuk segera kembali ke butik, ada yang harus di urus—katanya di telfon tadi.
Baru saja masuk mobil dan berniat menyalan mesin, handphone nya berbunyi sekali lagi menandakan ada pesan whatsapp yang masuk, Dian pun bergegas membuka nya siapa tau penting—eh ternyata malah,
08234657XXxxx : Dian? Saya Farrell, maaf lancang untuk mencari tau nomor kamu. Saya hanya merasa ada yang perlu kita selesai kan. Apa besok bisa bertemu?
Dian hanya melongos malas membaca pesan itu dan melemparkan handphone nya di bangku penumpang sebelahnya.
Bertemu dia hari ini saja sudah merupakan musibah yang besar bagi Dian dan membuat dia dalam mood yang buruk seharian. Nah ini, malah ingin bertemu lagi. Tentu saja Dian dengan amat sangat jelas tidak mau.
dasar memang lelaki, giliran udah ngerasa kehilangan aja baru dicari. Tahun-tahun kemaren kemana aja?, batinnya merengut kesal.
YOU ARE READING
Suara Hati
FanfictionDua pria dan Satu wanita. kisah ini tentang perdebatan antara hati manusia, kisah tentang bagaimana tuhan membolak-balikan hati manusia, kisah tentang rumitnya kisah cinta orang dewasa. Di saat sang wanita telah berhasil menyembuhkan lukanya di masa...