제 2 회

103 14 4
                                    

"Kebencian tidak akan pernah muncul,
jika tidak diiringi dengan percikan api.
Iri dan dengki adalah faktor utamanya."

***

Happy Reading
💋💋💋

***

Malam semakin merangkak naik. Hujan semakin deras menghujam. Rombongan kerajaan tengah menyisir istana barat. Mengiringi Raja Lee menuju paviliun milik Hyun. Langkah panjang Raja Lee membuat Kasing Hong kesulitan menyamakan iramanya. Sesekali membiarkan hujan lolos dari perlindungan payung yang berakhir dengan basahnya jubah kebanggaan itu.

"Jeoha, Yang Mulia Raja ingin bertemu," seru Kasim Jang. Memberi tahu pada Hyun, kalau ayahnya akan datang menemuinya.

Hyun memukul kepalanya keras. Habislah ia malam ini. Sang ayah pasti tidak akan ragu untuk memukulnya karena ia sering keluar istana tanpa izin.

"Seong Woo-ya, bersiagalah. Sepertinya aba mama akan membunuhku kali ini," celetuk Hyun asal. Nyaris saja Seong Woo tertawa, jika ia tidak pandai menyembunyikan perasaannya. Sahabatnya itu memang tidak pernah berubah. Selalu saja bisa mencairkan suasana yang tegang.

Srek

Pintu dibuka oleh dua orang dayang yang siaga 24 jam di depan pintu Hyun. Sosok tegas yang ditakuti Hyun akhirnya mempakkan wajahnya.

"Kalian semua, cepat pergi dari sini. Jangan ada yang masuk sebelum aku perintahkan!" titah Raja Lee tegas. Membuat para penghuni ruangan segera berhamburan keluar, kecuali Hyun. Jakunnya naik-turun, saat menatap manik merah sang ayah. Habislah sudah ia hari ini.

"Aba Mama!" Hyun bergegas bangkit dari duduknya. Bersujud memberi hormat pada Raja Lee, lalu melangkah mundur. Membiarkan sang ayah duduk di atas kasur lantainya.

Raja Lee memijit keningnya sebentar. Ia sudah kehabisan kata menghadapi sikap putranya yang terlalu sering membangkang. "Harus bagaimana lagi aku menghadapimu, Hyun-ah?" ujarnya tenang, namun tegas. Tifak sekeras saat pertama kali masuk tadi.

Hyun terkejut mendengar suara pelan sang ayah. "Ye?"

"Kau itu, putra mahkota di kerajaan ini. Penerusku. Calon Raja Jeoseon. Kau tahu itu, kan?"

Hyun tak mampu berkata-kata. Ia takut membuat kesalahan. Sebagai gantinya, ia hanya bisa mengangguk. Lagi-lagi Raja Lee membuang napasnya berat.

"Jagalah sikapmu, Hyun-ah. Jangan sering membuat keributan. Apalagi keluar dari istana tanpa izin. Para menteri selalu saja menggunjingmu!"

Kedua tangan Hyun terkepal erat. Menahan rasa amarah di dalam dadanya. Sejak kematian sang ibu dua tahun silam, dunianya seakan runtuh. Tak ada lagi cinta dan kebahagiaan yang memeluknya. Sikap Ratu Choi, selir Raja Lee yang akhirnya naik tahta, tak ubah layaknya ibu tiri di dalam dongeng. Sifatnya selalu saja dengki. Terlebih, saat putranya tak bisa menduduki posisi sebagai putra mahkota. Rasa benci semakin meradang, membuatnya selalu menatap Hyun sinis.

Hyun tersenyum sinis. "Gunjing saja hamba. Bila perlu, ganti saja putra mahkotanya. Hamba pikir, Soo lebih cocok. Dia lebih pintar dan berwibawa seperti Aba Mama. Hamba hanya pengacau. Gelar itu tidak cocok untuk hamba!" ujar Hyun panjang lebar. Namun tak berani menatap mata sang ayah. Nyalinya masih ciut.

"Kau berani melawan perintahku, Hyun-ah?!" Raja Lee kini bangkit. Membuat Hyun buru-buru bersujud minta ampun karena kelepasan bicara. Matilah ia.

Two Moons {Hiatus}Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang