3

19 4 0
                                    

___

"Syifa, Kak Bian nggak bisa jemput Kamu nanti. Jadi Kamu pakek ojek online aja, ya?" Gerakanku menyendok nasi goreng terhenti. Aku menatap Kak Bian dengan tatapan bertanya. Seakan mengerti tatapanku Kak Bian segera menjawab, "ada acara di kampus. Biasa." Ia mengibaskan tangannya ke udara berusaha agar membuatku mengerti.

Kali ini Aku beralih menatap Mama dan Papa yang sedari tadi diam mendengarkan. Dan Aku yakin mereka pasti tidak akan bisa menjemputku. "Syifa Kamu kan tau kendaraan di rumah udah kepakek semua," tutur Mama dengan lembut.

Aku menghembuskan napasku kasar. "Tahu nggak gara-gara Kak Bian, kemarin aku jadi telat!" Kutatap Kak Bian dengan bengis. Sedangkan Kak Bian berpura-pura melihat ke arah lain.

"Ya udah, sih. Tinggal naik ojol doang susah banget." Aku menyipitkan mataku curiga. "Haa, jangan-jangan Kak Bi boong ya? Jangan-jangan cuma buat alesan doang." Kuhentikan ucapanku sejenak. "Haa, Kak Bi mau jalan sama pacarnya kan?"

"Ehh, enggak ya. Lo tau apasih bocil. Heh ingat fitnah lebih kejam daripada pembunuhan!!" Aku memutar kedua bola mataku. Kulanjutkan aktivitasku memakan nasi goreng buatan Mama. Mama dan Papa hanya geleng-geleng kepala melihat tingkahku dan Kak Bian.

***

Jam pertama hari ini adalah sejarah. Pelajaran yang kusukai. Bisa dibilang aku sangat tertarik dengan pelajaran itu. Entah sejak kapan juga Aku menyukai pelajaran yang rata-rata dibenci oleh teman-teman sekelasku itu.

Aku merapatkan kursiku ke meja. Kali ini Pak Dimas menjelaskan materi. Dengan gaya pengajarannya yang santai membuatku jadi cepat mengerti. Ya setidaknya bagiku. Entahlah bagi siswa yang lain.

"Oke buka halaman 16 dan kerjakan di situ! Nanti dikumpulkan." Intruksi Pak Dimas. Segera aku membuka halaman yang diberitahu Pak Dimas. Tarikan di kedua sudut bibirku tercipta karena soal-soal itu sudah pasti bisa kujawab dengan mudah. Aku mengambil kotak pensilku di tas. Dan betapa geramnya Aku ketika polpen yang baru Aku beli kemarin lusa hilang entah di mana.

Kucari polpenku itu di tas barangkali tertinggal di sana. Namun yang kutemui malah penggaris plastik patah yang kedudukannya sudah kuganti dengan penggaris besi. Dengan pasrah, kuputuskan untuk meminjam Zeta. Namun lagi-lagi keapesan datang pada diriku ini. Zeta hanya membawa satu polpen.

Aku menghela napas pelan. Kucari pulpen itu di kolong meja dan Aku menemukannya. Bersamaan dengan sebuah amplop coklat. Dengan lirih Aku bertanya pada Zeta. "Lo tahu siapa yang naruh ini di sini?"

Zeta mengeryitkan dahi kala Aku menunjukkan amplop itu. "Enggak tahu," ucapnya kemudian. Aku semakin penasaran dibuatnya. Kubuka tutup amplop coklat yang dirapatkan dengan selotip itu. Di sana ada sebuah kertas yang dilipat rapi. Aku melirik Zeta yang kini sedang fokus dengan pekerjaannya lalu kembali kufokuskan mataku lagi ke surat itu. Kutarik surat itu dari persembunyiannya. Kernyitan di dahiku muncul setelah Aku membuka surat itu.

Mataku pertama kali menangkap huruf R yang sengaja ditulis tebal di sana. Netraku ini kemudian bergerak ke bawah. Rasa nyeri timbul begitu saja di dadaku. Setetes air mata tak bisa kutahan lagi. Terpampang jelas tulisan tegakbersambung yang beratakan di atas kertas putih itu. Dan Aku pasti tahu siapa pengirimnya. "Berhenti merhatiin Gue. Gue tahu Lo suka sama Gue tapi tolong mulai detik ini, berhenti."

***
Pikiranku masih berkelana. Memikirkan surat yang sudah kubuang ke tempat sampah tadi. Aku seakan ditampar oleh ribuan tangan hanya dengan mengingatnya.

Pandanganku kuedarkan ke sekelilingku. Kosong melompong. Tak ada orang. Pak Satpam juga sudah pulang beberapa menit lalu. Helaan napas keluar dari mulutku. Aku menatap ponselku yang kacanya sedikit retak karena disenggol adik kelas tadi. Ponselku itu jatuh dan ketika Aku berusaha membukanya, itu berhasil tapi mati lagi karena baterainya tiba-tiba habis.

Jam di tanganku menujukkan pukul 04.40. Aku tahu itu sudah sore. Dan dengan berat hati, mau tidak mau Aku harus pulang dengan berjalan. Lagipula apa yang harus Aku tunggu di sini.

Kuacak-acak rambutku frustasi. Dengan kondisi seperti ini, Aku merasa menjadi gembel. Berjalan sendirian lengkap dengan seragam yang masih melekat di tubuhku. Aku tersenyum kecut. Lagi-lagi masalah surat itu. Entah bagaimana cowok yang menyebut dirinya Raka itu tahu kalau Aku menyukainya. Apa Aku terlalu terang-terangan melihatnya. Atau jangan-jangan Dia bisa membaca pikiran atau mendengar suara hati. Aku merasa bodoh sekarang. Menerka-nerka hal yang takkan bisa terjawab.

"Bodoh Lo. Bodoh!" Gumamku lirih. Rasa sesak kembali menyerangku. Lalu, kenapa Dia memperkenalkan dirinya padaku di hari itu. Dan kenapa Dia bersikap seolah tak tahu apa-apa mengenai perasaanku padanya.

Aku bersedekap menahan dingin. Suara kendaraan berlalu-lalang mulai terdengar jelas. Cahaya-cahaya lampu satu persatu dinyalakan. Tak sedikit orang yang melihatku aneh di saat perjalanan. Namun kini mereka seakan menghilang. Kudongakkan kepalaku ke atas. Langit menggelap. Suara adzan magrib berkumandang jelas di telingaku. Tapi semakin jauh Aku melangkah suara Adzan itu mulai samar-samar.

Kuhentikan langkahku. Kuedarkan pandanganku ke seluruh penjuru. Gelap. Di saat seperti ini Aku jadi takut kalau ada penjahat atau pencopet atau perampok ya semacamnyalah. Cukup lama Aku diam, namun akhirnya suara deru knalpot motor dari belakang membuatku merinding dan terpaksa kakiku yang pegal ini harus berjalan lagi. Yap yang ada di pikiranku sekarang adalah PENJAHAT. Catat itu.

Tanpa sadar kini kakiku semakin cepat melangkah ralat Aku berlari sekencang mungkin. Motor itu mengikutiku. Aku bisa merasakannya. Dan saat ini pengemudinya memintaku berhenti. Dugaanku semakin kuat.

Bersambung

Terimakasih sudah mampir membaca🤗





ANGANTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang