___
Tanpa sadar kini kakiku semakin cepat melangkah ralat Aku berlari sekencang mungkin. Motor itu mengikutiku. Aku bisa merasakannya. Dan saat ini pengemudinya memintaku berhenti. Dugaanku semakin kuat.
"Woi berhenti Lo!"
Kakiku refleks berhenti. Nafasku terputus-putus. Kedua tanganku kugunakan untuk menopang lutut. Suaranya familiar. Itu yang ada di pikiranku sekarang. Aku berbalik untuk melihat siapa yang mengikutiku dari tadi. Seragam yang sama denganku namun acak-acakan. Pernyataan itu yang pertama kali melintas di benakku.
Aku menyeka peluh di dahiku. "B-Biru," cicitku terbata. Dia diam. Tak menanggapi."Gue kira tadi-"
"Naik!" Potongnya cepat. Matanya menatap lurus ke arahku.Tentu saja Aku tak bisa menolak tumpangannya. Dengan ragu Aku menaiki motornya. Setelah itu Dia melajukan motornya dengan kecepatan sedang.
"Ru, Gue belum shalat!" Sedari tadi Aku memikirkan bagaimana caranya aku mengatakannya. Aku menimang-nimang kata apa yang pas agar Biru tidak tersinggung. Pasalnya anak seperti Biru biasanya jarang beribadah. Biru diam. Apa perkataanku ada yang salah. Hingga 1 menit Biru belum juga merespon. Apa dia tidak mendengar perkataanku.
"Ru?" Ucapku agak keras.
"Gue jarang sholat." Ucapnya. Aku terdiam. Biru memasuki pelataran masjid di pinggir jalan.
"Gue nggak sholat. Cepetan jangan lama-lama." Suaranya agak bergetar entah karena apa. Aku hanya menjawab iya lalu turun dan berjalan ke arah masjid. Biru masih setia di atas motornya ketika Aku memasuki tempat wudhu. Ketika selesai, Aku sedikit terkejut saat tak mendapati Biru di atas motornya. Kuedarkan pandanganku untuk mencari keberadaannya namun nihil tak ada. Yang ada hanya seorang bapak-bapak yang keluar dari dalam masjid. Selang beberapa detik, Aku melihat Biru muncul dari tempat wudhu.
Pandangan kami bertubrukan namun selang beberapa detik, Biru langsung memutus kontak mata denganku. Ada sorot tak nyaman di matanya.
***
Tadi malam Biru mengantarku sampai rumah dengan selamat. Mama, Papa, dan Kak Bian sangat khawatir padaku ketika aku sampai. Dan...di sinilah aku. Diantar Mama dengan mobilnya yang baru diambil dari bengkel.Aku pamit kepada Mama saat sampai di sekolah tak lupa juga kuucapkan salam kepada beliau. Aku mulai berjalan memasuki sekolah. Keadaannya sudah ramai. Banyak siswa yang berjalan sama sepertiku untuk menuju ke kelas. Kueratkan pegangan tanganku ke tali tas ranselku ketika melihat Airlangga berjalan keluar dari kelasku. Aku menghentikan langkahku dan berpura-pura tak melihatnya.Begitu pun Ia. Hanya melewatiku tanpa memerdulikanku. Dugaanku semakin kuat. Dia sudah tahu kalau aku menyukainya. Pasti sudah ada surat di loker mejaku sekarang.
Aku sedikit berlari menuju kelas. Senyumanku terbit ketika melihat Zeta sudah berada di bangkunya. Ia membalasnya dengan senyuman hangat. Apa dia mengetahui kalau Airlangga menaruh surat di loker mejaku? Segera aku duduk di sampingnya lalu merogoh lokerku untuk mengambil suratnya. Namun tak kudapati apapun. Sekali lagi aku mencarinya sampai ujung batas lokerku tapi tetap saja tidak ada.
"Terus ngapain dia di kelas gue?" Batinku. Aku melihat seluruh penjuru kelas. Banyak anak di sini. Sepertinya dia menemui seseorang. Tapi siapa? Pikiranku berkelana harap-harap bisa menemukan petunjuk. Lalu ingatanku tiba-tiba mengarah ke Zeta. Saat itu Airlangga menanyakan Zeta saat ia sedang sakit. Apa mungkin Airlangga menemui Zeta? Tapi Zeta tak pernah sekalipun bercerita tentang Airlangga padaku.
***
Suara langkah kaki berpijak terdengar di telingaku. Sepertinya 3 atau 4 orang. Tapi entah kenapa suara itu begitu jelas di telingaku. Padahal saat ini kondisinya sedang ramai. Tubuhku menegang dan tanganku terasa dingin dengan tiba-tiba. Tanganku kuketuk-ketukkan dengan pelan ke meja untuk mengusir rasa tegangku. Sudah pasti aku mengetahui siapa pemilik suara itu. Helaan napas keluar dari mulutku ketika dia dan teman-temannya melewatiku. Airlangga. Tanganku menggenggam kuat ketika mengingat namanya. Rasa malu menguasaiku sekarang."Nih!" Aku tersentak saat mendengar suara Zeta. Ia membawa 2 mangkok bakso dan segera menaruhnya di meja. Kutarik salah satu mangkuk baksonya lalu mengambil sendok dan garpu dan menaruhnya di mangkuk.
Sekejap Aku berusaha untuk melupakan tentangnya dulu. Kulahap satu sendok bakso dan mengunyahnya cepat. Begitupun Zeta. Kami terlelap dalam makanan kami hingga tak berbicara satu sama lain sama sekali. Setelah bakso kami habis, baru aku mulai berbicara. "Kenapa sih Lo akhir-akhir ini murung terus?" Tanyaku padanya. Ia diam memainkan sendok di mangkuk yang menimbulkan suara dentingan lirih. "Zeta?" Aku menatapnya serius. Sedangkan ia mulai tersenyum kepadaku. Senyum palsu. "Nggak papa kok." Aku hanya bisa menghela napas. Mungkin ini bukan waktu yang tepat untuk dia berbicara masalahanya kepadaku. Aku mengerti.
"Eh gimana kalo kita besok jalan-jalan. Kemana kek. Bosen gue di rumah terus. Lagian besok kita libur," ajakku. Zeta tersenyum lebar lalu mengangguk semangat. Setidaknya dengan cara ini, Aku bisa menghiburnya. Walaupun aku tidak tahu apa masalah dia.
Beberapa detik kemudian bel masuk berbunyi. Aku dan Zeta segera menuju kelas. Bertepatan aku berdiri mataku tak sengaja melihat ke meja Airlangga dan teman-temannya. Dan entah sejak kapan mata Airlangga melihatku. Ada kemarahan di matanya. Mataku berkaca-kaca menahan bulir air mata yang siap jatuh setelah aku berbalik, air mataku jatuh.

KAMU SEDANG MEMBACA
ANGAN
Roman pour AdolescentsSuatu hari, dia berbicara padaku lalu mengacak rambutku dengan ekspresi senang. Bahkan aku baru saja mengetahui namanya kemarin. Lalu entah mengapa dia tiba-tiba tahu kalau aku menyukainya. Dia menyuruhku berhenti menyukainya dengan secarik kertas d...