___
Aku menopang daguku. Semilir angin menerpa rambut panjangku. Aku memang sengaja membuka jendela kamarku. Itu kulakukan agar aku dapat menikmati sejuknya angin malam. Aku menurunkan tanganku. Kutatap soal matematika di depanku ini dengan raut kesal. Rasanya kepalaku mau pecah. Tak satu pun soal yang mampu aku jawab. Ya memang aku lemah dalam matematika.
Helaan napas keluar dari mulutku. Kuputuskan untuk menelepon Zeta. Ia ahli dalam matematika menurutku.
"Udah sembuh belum, Lo? Gimana mendingan nggak?"
"Agak pusing sedikit, sih. Tapi Gue besok masuk kayaknya," jawab Zeta di seberang sana.
"PR matematika buat besok udah Lo kerjain?" Aku terdiam masih menunggu jawaban Zeta. Kelihatannya Zeta sedang berbincang dengan seseorang. Terbukti aku mendengar suara samar-samar di ponselku.
"Hah, apa?"
"PR matematika..,"jawabku.
"Udahlah. Lagian itu tugas minggu lalu masa belum Lo kerjain." Aku tertawa pelan. "Lo 'kan tahu..,"gumamku.
"Aishh, yaudah gue fotoin."
"Makasih."
Setelah menyalin jawaban Zeta, aku langsung mematikan lampu untuk bersiap tidur. Gerakanku membenarkan selimut terhenti ketika terdengar suara seperti pecahan kaca jatuh dari rumah sebelah. Tetanggaku.
Aku bangun lalu mengambil ponsel untuk mengecek jam. Pukul 21.30. Aku tersentak kaget. Suara ribut yang kudengar lirih tadi, kini memuncak. Suara adu mulut yang sudah biasa aku dengar setidaknya 3 hari sekali itu, memecah keheningan malam. Memang mereka sudah biasa bertengkar. Tetangga-tetanggaku yang lain juga sudah terbiasa dengan itu.
Aku menyalakan lampu lalu turun dari tempat tidur. Untuk kali ini aku lupa menutup jendela. Suara keributan itu kini kian mereda dan semakin samar terbawa angin malam. Aku cepat-cepat menutup jendela namun kuhentikan saat melihat cowok ber-hoodie hitam yang Kuterka itu Biru menuntun motor pelan-pelan meninggalkan rumahnya. Dia tetanggaku memang dan yang bertengkar itu orang tuanya. Dia jarang di rumah. Mungkin karena orang tuanya sering bertengkar. Aku juga tak terlalu mengenalnya meskipun Dia tetanggaku. Yang kutahu dia adalah siswa bandel yang sering membolos dan dihukum.
Aku hanya memandangnya dalam diam sampai Ia tak terlihat lagi di mataku. Kututup jendela kamarku dan mulai bersiap tidur.
***
"Haduuh, jangan telat jangan telaat," Gumamku khawatir. Setelah turun dari mobil dengan sekuat tenaga aku berlari kencang menuju gerbang. Dengan keadaan masih terengah-engah, aku terduduk lemas. Pak satpam sudah menunggu di pinggir gerbang dengan bersedekap.
Aku menggerutu. "Terlambat 10 menit," ucap Pak satpam. "Bangun, cepat. Hukuman kali ini...kamu bersihin halaman sampai bersih."
"Hah, jangan dong, Pak. Kan itu luas, Pak halamannya. Mana Saya sendiri lagi," ucapku memohon.
"Itu." Pak satpam menunjuk ke belakangku. Aku mengernyit. Netraku menoleh ke belakang. Di sana sudah ada Biru dengan rambut dan seragamnya yang acak-acakan. Aku menghela napas pelan.
"Tunggu apa lagi!" Aku berdecak pelan. Dengan lemas aku mengambil sapu dan mulai membersihkan halaman. Diikuti dengan Biru.
Aku menyapu di dekat pagar. Sedangkan Biru berada beberapa langkah di dekatku. Kuperhatikan Biru. Meniliti setiap ekspresinya untuk menemukan kesedihan di sana. Mengingat tadi malam Ia kabur dari rumah. Ya aku bisa merasakan raut kesal, marah, dan kesedihan di wajahnya meskipun kejadian itu sudah berlalu. Rasa iba kadang muncul setiap aku mendengar keributan di rumahnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
ANGAN
Fiksi RemajaSuatu hari, dia berbicara padaku lalu mengacak rambutku dengan ekspresi senang. Bahkan aku baru saja mengetahui namanya kemarin. Lalu entah mengapa dia tiba-tiba tahu kalau aku menyukainya. Dia menyuruhku berhenti menyukainya dengan secarik kertas d...