5

22 4 0
                                    

___

Kutarik selimut yang semalaman menjagaku dari dingin. Aku turun dari ranjang lalu bersiap mandi. Sebelumnya, Aku terhenti pada sebuah cermin persegi panjang yang diletakkan di sebelah ranjang. Terkejut kala kudapati mataku bengkak. Aku memeganginya lalu teringat bahwa tadi malam aku menangis tak henti-henti hingga tertidur.

Setelah mandi, Aku mengambil sweater coklat dan celana jeans di lemari lalu memakainya. Aku berdecak ketika menyadari mataku masih terlihat bengkak di kaca. Helaan napas keluar dari mulutku. Aku berjalan mendekati jendela. Sekedar menghirup udara untuk menenangkan pikiran. Mataku melihat ke arah jendela seberang yang terbuka. Aku tidak tahu.  Aku tidak pernah melihat jendela itu terbuka bahkan sedikit pun.

Aku menjadi berpikir apakah itu kamar Biru? Ya Kau tidak lupa kan kalau kami memang bertetanggaan?

Aku terus memerhatikan. Mataku menjangkau ke semakin dalam kamar itu. Tak banyak yang bisa kulihat. Hanya almari kayu coklat dan juga sebagian ranjang dengan selimut berwarna hitam di atasnya serta meja berhias buku lengkap dengan kursinya. Tak lama datang seorang laki-laki dengan pakaian kemeja kotak-kotak. Aku mengenalinya. Biru. Biru merapikan rambut dengan tangannya. Ia bercermin di almari kayu itu yang menghadap tepat ke arah jendela kamarku. Jadi, aku hanya bisa melihat punggungnya. Aku tak pernah melihatnya Serapi itu.

Aku jadi semakin penasaran. Kau pernahkan merasa begitu? Entahlah kenapa juga aku harus betah berdiam diri di sini hanya untuk melihat aktivitasnya itu. Aku jadi tersenyum memikirkannya. Dan..baru saja aku akan berbalik melanjutkan aktivitasku, Dia sudah melihat ke arahku sekarang. Aku merutuki diriku sendiri. Oh ya baru kuingat kalau lemari itu menghadap tepat ke arahku. Jadi, dari tadii dia sudah menyadari kalau aku memerhatikannya. Malunya diriku sekarang.

Aku bergeming menunggunya berbicara. Dia menyeringai remeh. Lalu, dengan suara beratnya ia berteriak kepadaku, "ngapain Lo!!" Dengan nada tak suka. Tapi entah kenapa setelah mengucapkan itu aku menyadari kalau dia tersenyum tipis. Sangat tipis. Aku tak akan bisa melihatnya jika aku tak benar-benar memerhatikannya tadi. Lalu dengan cepat dia menutup jendela kamarnya itu.

"Mau ditaruh di mana muka Guee!!"

                               ***
Suasana cafe begitu damai. Alunan musik lofi menggelitik telinga sampai tak terasa 2 cangkir kopi hangat sudah tepat berada di atas meja sejak tadi. Sedikit dari mereka yang bercanda tawa tapi tak mengusik keberadaan seseorang ini. Lebih tepatnya kami berdua.

Setelah memesan, dan sampai pesanan datang dia tak mau juga berbicara masalahnya. Kami memang belum lama bersahabatan tapi tak pernah sekalipun dia seperti ini. Aurelia Zeta. Aku memanggilnya Zeta. Entahlah semua orang memanggilnya Lia tapi aku memanggilnya Zeta. Aneh memang aku ini. Dan ya hari itu dia memperkenalkan dirinya padaku. Setelah itu dia selalu mengikutiku kemanapun aku pergi saat di sekolah.

Aku cukup senang hari itu. Karena tanpa berusaha aku bisa mendapatkan teman. "Zeta..," ucapku pelan.

"Salah nggak sih kalau orang itu egois."

"Tergantung, sih," jawabku sekenanya. Aku tak tau apa maksudnya tapi untuk saat ini aku akan menjadi pendengar yang baik.

"Dan...Gue sekarang sedang menjadi egois. Akhir-akhir ini." Dia memijat pelipisnya setelah mengatakan itu.

"Apa yang membuat Lo menjadi orang yang egois?"

Zeta menghela napas. Ia terlihat ragu. " Aku nggak tahu..hei tapi gue punya..," Ia berpikir sejenak lalu segera tersadar dan melanjutkan kalimatnya. "Gue nih punya kakak. Dia itu disayang banget sama Mama Papa. Salah gak sih kalau gue benci sama dia. Gue iri sama dia. Mama Papa aja nggak sesayang itu ke gue. Kakak gue selalu dimanjain. Nah, gue..nggak. Iya Gue tahu dia pinter banget. Tapi gue itu juga anaknya." Setelah mengatakan itu, zeta menghela napas kasar.

"Menurut gue Lo nggak seharusnya gitu. Bagaimana pun kakak lo nggak tahu apa-apa. Justru menurut gue hal itu harus menjadi motivasi agar lo bisa lebih menunjukkan kemampuan Lo. Sebenernya  di sini orang tua Lo juga salah. Nggak seharusnya mereka ngebedain kasih sayang antara kalian berdua."Zeta diam tak menanggapi. Kata-kataku sepertinya tak membuatnya lebih tenang atau pun lega. Tidak apa-apalah. Yang penting aku sudah berusaha untuk menghiburnya.

Zeta meminum secangkir kopinya diikuti olehku. Setelah kopi kami berdua habis, aku berencana untuk mengajak Zeta pulang. Namun segera kuurungkan niatku ketika melihat seseorang masuk ke dalam cafe. "Oh ternyata dia mau ke sini," batinku. Kenapa akhir-akhir ini aku sering melihatnya. Padahal sebelumnya-sebelumnya tidak. Dan aku terkejut ketika melihat Ia ternyata  bersama seorang cewek. Aku cukup terkejut. Pasalnya seorang Biru tak pernah kelihatan bersama seorang cewek. Dia di sekolah bahkan terkenal sangat dingin dengan cewek. Apa itu pacarnya?

Aku melirik Zeta yang kini juga melihat Biru bersama cewek itu. Dan aku beralih kembali melihat Biru. Mata kami bertemu. Dia terlihat terkejut namun ia segera mengubah ekspresinya menjadi tenang. Aku tak habis pikir ternyata seorang Biru punya pacar. Ah rasanya sangat tidak mungkin. Aku tidak percaya. Tapi kenyataan di depan mata.


*Terima kasih sudah mampir membaca😇

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Sep 08, 2020 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

ANGANTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang