Boga Tak Bogoh

146 20 31
                                    

Bagi Jek, Ros adalah matahari dan Jek  planet. Jek tidak bisa berhenti menjadikan Ros sebagai pusat porosnya. Meski Ros pernah beranak, Jek tetap berharap. Karena Jek, dari dulu sampai detik ini, siap menerima Ros dalam keadaan apa pun.

Dan ketika Kol datang, Jek tahu jalannya akan semakin berliku.

*****

Berbeda dari yang lain, Jek memiliki siklus sendiri. Dia mengetahui hal itu dari induknya. Akan ada saat di mana dia harus menahan, sedang yang lain mulai bereproduksi. Tidak masalah. Selama ini Jek bisa mengendalikan diri. Tidak seperti Uus yang melangkah ke sana kemari ketika awan abu-abu pekat sering melingkupi langit. Uus yang menekuk kedua kaki depan dan belakang di pojokkan dalam keadaan suram dan terus mengembik; berharap pemilik mereka mau meletakkannya di kandang depan, tidak akan Jek tiru. Jek akan tetap berdiri, meskipun dengan penuh iri.

Bagi Jek, hidup sebagai peranakan tidak melulu terikat kemalangan. Setidaknya, Jek memiliki bulu-bulu panjang yang tumbuh di area paha, ekor, serta dagu. Secara sekilas, dia mirip jenis yang berasal dari India. Seperti induk jantannya; jenis unggulan. Terlebih, sosok yang dia incar mulai memberi sinyal balasan. Meski jarang dan sering teredam embik yang lain, tetapi itu bisa dikatakan sebagai afirmasi, bahwa usaha Jek—yang berupa perhatian sederhana macam melemparkan kulit pisang ketika kepala mereka menyembul; saling berhadapan dari sela di sekat—sudah membuahkan hasil.

Jek yakin, jika saatnya tiba, dia dan Ros—si betina incarannya yang berperawakan kecil dan memiliki sepasang tanduk mungil—bisa bersatu. Jek tidak akan seperti induk jantannya yang mengawini hampir semua betina di sini. Dia akan tetap memilih Ros. Bersama pusat dari segala hal yang mampu membuatnya waras. Meski Uus yang masih meringkuk di pojokkan sering mencemooh, tetapi Jek percaya bahwa dia bisa melakukan hal itu. Hanya pada Ros. Selamanya dengan Ros.

Namun, apa yang terjadi esok hari hanya Sang Pencipta yang punya kuasa.

Matahari sudah sedikit bergeser ke barat, ketika dua orang masuk. Jek mengenali mereka sebagai si pemberi makan. Dua orang itu selalu datang dengan menenteng atau menarik wadah besar berisi rumput, atau daun pisang, dan beberapa kali potongan semangka. Biasanya, mereka hanya berjalan di gang sempit antara wilayah jantan dan betina. Namun, kali ini mereka menarik Uus yang tengah meratapi nasib. Dan yang membuat Jek mengembik keras adalah dia turut ditarik bersama Uus.

Jika Uus mengembik dalam suasana hati yang bagus, Jek hanya berdiam diri di pojok. Sebisa mungkin menjaga jarak dari si betina yang terus menatapnya. Dia tidak memiliki hasrat untuk meniru apa yang Uus lakukan. Juga tidak mengacuhkan aroma yang mengontaminasi udara di sekitarnya. Aroma ini bukan bau tubuh Ros.

Ketika tadi melewati kandang dan melihat Ros, Jek pikir itu adalah hari terakhirnya. Dia ingat kisah tentang persembahan. Akan ada hari di mana dia dan beberapa yang lain diangkut untuk kemudian dijadikan santapan manusia. Itu kodrat dirinya. Si induk juga menambahkan, bahwa karena alasan itulah mereka hidup dan diberi makan oleh manusia.

Jek lega, karena dia dan Uus hanya digiring ke kandang khusus di luar, di sebelah rumah mereka. Kandang khusus ini tidak dikelilingi tembok seperti kandang utama, hanya dibatasi pagar kayu di keempat sisinya. Tidak beratap karena fungsinya bukan sebagai tempat tinggal. Di luar sisi terjauh ada pohon beringin dengan dahan yang dipenuhi daun, menjulur hingga menaungi separuh sisi bagian dalam. Dan di sanalah Jek berdiam diri. Mengawasi si betina dan sesekali melihat aksi Uus.

“Kayaknya teh yang ini belum siap, Bah.”

Jek tetap tidak bergerak. Seandainya Ros yang dibawa, tentu akan beda cerita.

“Padahal si Jek ini udah setahun, 'kan?” Si pemilik menyahut. Dia berdiri tepat di samping pohon beringin. “Kunaon ieu? Sudahlah, balikan saja ke kandang.”

Loveland: Romance de AmorTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang