"Kapan menikah?"
Pertanyaan sederhana yang selalu berhasil membuat hati menggigil resah. Sebagai anak sulung—satu-satunya anak perempuan—di keluargaku, aku memahami kekhawatiran mereka. Usia yang mulai menjejak angka 25 tahun—di mana teman sebayaku sudah banyak yang menikah bahkan menggendong buah hati mereka—aku justru sibuk menenggelamkan diri dalam dunia fiksi, daripada memikirkan rumah tangga impian di kehidupan nyata. Penyebabnya kerap kali dipandang sepele oleh sebagian orang, tetapi berbanding terbalik dengan sakit yang dicipta. Hati yang patah berulang.
Bagiku, merangkum luka dalam rentetan aksara rasanya lebih bermakna dibanding menyuarakan dengan gamblang kesakitan di tengah keramaian. Yang tercatat dalam relung kecil ini hanya satu, mereka belum tentu memahami rasa sakit yang tak terjamah netra. Lagi pula, hati yang menggelepar payah setelah kehilangan banyak kepingannya mengalirkan banyak ide di otakku. Sayang bukan jika tidak dimanfaatkan?
Namaku Raya, si gadis bersiram luka. Katakanlah begitu. Sejak kecil, aku menjadi korban perpisahan orang tuaku. Beranjak dewasa, ikatan sakral bernama pernikahan dua kali mencederai perasaanku. Ya, dua kali ditinggal menikah tentu saja bukan perkara mudah untuk aku lewatkan. Belum lagi, aku pernah terkatung bertahun-tahun dalam harapan tanpa kepastian yang berujung pengabaian. Menyedihkan memang.
Hujan lebat sore ini membuatku tenggelam dalam kenangan yang dibawa dalam rintiknya. Meski hanya berteman sebuah buku catatan dan segelas susu hangat, aku tetap menikmati.
Sial. Sosok yang sudah berpemilik melintas tiba-tiba di pikiranku, lengkap dengan lengkung senyum sempurna andalan.
Apa ini rindu?
Beberapa hari belakangan, lelaki itu rajin sekali singgah di mimpiku, kemudian membangunkanku dalam ketakutan. Bagaimana tidak, dia mengajakku pergi, kita bersenang-senang, sebelum akhirnya aku ditampar dan dimaki habis-habisan oleh istrinya. Beruntung itu hanya mimpi.
Dering benda pipih dalam genggaman berhasil membuyarkan lamunanku. Saat kulihat, terdapat satu pemberitahuan masuk dari instagram.
KeanoRendra mengomentari: Kamu sekarang penulis, Ay?
"Keano." Aku bertutur lirih menggumamkan namanya. Dia mengomentari salah satu foto yang aku publikasi di instagram.
Aku tidak berniat membalas, sekalipun dia kurindukan. Namun, pesan yang masuk selanjutnya begitu menggelitik hingga aku terbawa untuk menimpali pesan itu.
KeanoRendra
Hai, Ay. Apa kabar? Satu daerah, tapi jarang ketemu kok rasanya aneh, ya?
Terang saja aku dan Keano jarang bertemu. Saat dia menikah tepat di hari ulang tahunku yang ke-23, semua komunikasi terputus sepihak. Aku sadar betul posisiku saat itu.
Yang paling menyebalkan tentu saja dari cara dia menyapaku. "Ay" nama panggilanku saat kami masih bersama, dulu.
RayaMelvina
Tentu, kita sudah lain dimensi
KeanoRendra
Aku manusia dan kamu makhluk astral?
RayaMelvina
Mana ada? Bukannya situ makhluk astralnya?
KeanoRendra
Hahaha.
Aku kangen, Ay.
Dia bilang ... kangen? Bagaimana bisa satu kata itu saja membuat ritme jantungku lebih cepat daripada biasanya?
Akhirnya aku dan Keano larut dalam obrolan tak penting. Namun aku sangat menikmati perbincangan ini. Terlebih saat dia mengulas ihwal masa kecil kami dulu. Aku berguling di tempat tidur dengan pipi bersemu. Keano tidak banyak berubah, dia tetap manis seperti biasanya. Hari ini, lelaki itu kembali membuatku bahagia.
KAMU SEDANG MEMBACA
Loveland: Romance de Amor
RomanceRomansa di bulan Januari! Jamuan hangat untuk hati yang mulai sedingin dan sepekat malam. Diramu oleh tangan-tangan dungu yang menghamba pada kisah cinta beribu rupa. Pekat aroma rempah-rempah asmara mulai mengudara: manis, lembut, pahit, menusuk. K...