Hanya Teman

65 6 27
                                    

Jejak-jejak yang ditinggalkan Asri dan Nita tidak terlihat oleh mata manusia, tapi dirasakan jalanan yang dipijakinya. Ia melihat betapa hancurnya Asri lewat air mata yang mengalir selagi tangan kanannya sibuk menghapus jejak-jejaknya, sementara tangan kiri mendekap plastik berisi barang-barang untuk latihan mereka.

Sungguh, betapa hancurnya hatinya saat ini. Entah karena sedang faktor haid atau apa, hari ini Asri menjadi lebih sensitif. Dia jadi begitu terluka setelah dibanding-bandingkan oleh seniornya, disenggol teman lelakinya, pun dengan materi yang diajarkan seniornya dan betapa galaknya mereka ketika Asri tidak kunjung paham.

Sesak yang ia sembunyikan rapat-rapat akhirnya keluar juga. Lewat air mata si penyalur emosi terkini dan teman seperjuangan yaitu Nita Nandhini, jalanan sore hari itu ia jadikan tempat curhat. Keluh kesahnya sedikit demi sedikit mengikis, pun indahnya senja setidaknya memperbaiki suasana hatinya yang mulanya sedu.

Nita tidak menghakimi sama sekali. Gadis remaja itu mendengarkan dengan saksama, sesekali menanggapi dengan hal yang sama. Jadi, bukan Asri saja yang berkeluh kesah, Nita pun juga.

Aspal kini berganti tanah lapang. Hijau dan cokelat, dengan warna koral di atasnya. Obrolan Asri dan Nita berganti, seolah mengikuti alur alam yang mengiringi matahari untuk pergi meninggalkan Kota Semarang.

Mereka membicarakan apakah besok datang untuk latihan voli di rumah Kak Putri atau tidak, karena pada awalnya Asri tidak berniat untuk latihan besok karena tubuhnya lelah usai latihan kemarin sore.

Obrolan keduanya berhenti ketika Nita melihat senja dan membicarakan betapa indahnya cakrawala saat ini. Asri yang pada dasarnya suka membaca novel memainkan imajinasinya. Ia memberitahu Nita bahwa di atas langit ada pulau yang terbentuk dari awan, lalu pegunungan dan sungai di bawahnya, pun matahari yang mengintip lewat celah-celah daun pohon pisang bak pintu ke dimensi lain seperti di novel-novel fantasi yang biasa ia baca.

"Ah itu, tuh! Mirip pesawat yang miring." Nita menunjuk awan kelabu, sementara Asri sontak menyipit memperhatikan dan memainkan imajinasinya.

"Eh iya," balasnya, setengah tak percaya.

Asri segera mencari objek awan lainnya. Ia dan Nita mendongak, sibuk dengan pencarian awan berbentuk hewan, benda, dan tumbuhan hingga tidak peduli pada gerombolan laki-laki yang bermain sepak bola di samping kanan mereka.

Memang ya, kalau sudah sama teman pasti dunia serasa milik mereka saja. Segala perbuatan konyol pun dilalui tanpa rasa malu, seolah urat malu mendadak putus saat masuk lingkaran pertemanan.

Meski begitu, Asri melupakan kejadian di sekolahnya tadi. Keadaan hatinya makin membaik. Berkat hari itu juga, ia menjadi tahu kalau hal sekecil apa pun itu, bila dilakukan ketika sedih bisa berdampak besar pada diri seseorang. Seperti Asri contohnya, yang mengambil keindahan sore hari di mana awan-awan berpencar menjadi tiga warna: kuning, oranye kemerahan, dan biru pucat. Siapa tahu kalau hal sekecil itu dapat menyembuhkan luka hatinya.

"Besok masuk nggak?" Nita tiba-tiba berkata, membuat Asri yang sedang mencari-cari bentuk awan lainnya menoleh ke arahnya.

Gadis itu berdeham sebentar, lamanya menjawab, "Nanti, deh. Gue usahain, sih masuk." Ia melihat sekeliling. "Nggak pulang?"

Niat menoleh. "Lah, tadi, 'kan kita lagi lihat langit." Wajahnya merengut. "Ya udah, ayo, keburu malam."

**

Dan keesokan harinya justru lebih buruk.

Nita menatap datar Asri yang bersembunyi di bawah selimut hijau rumputnya. Ia berkali-kali memunculkan wajah, tapi sedetik kemudian menyembunyikannya lagi.

Loveland: Romance de AmorTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang