Katastrofe

75 10 109
                                    

Mereka memekik.

Menimbulkan beberapa tanya pada benak masing-masing dari mereka. Tidak ada yang mengetahui ataupun menyangka ketakutan melanda mereka.  Sungguh ironis bila mereka saling mendorong demi keinginan egois mereka sendiri. Sebagian dari mereka memohon pada maha Kuasa, dan sebagian lain terisak sembari berpelukan dengan seseorang yang mereka kenal.

"Ampuni aku," Begitulah sebagian yang mereka katakan. "Selamatkan aku."

Sungguh mereka memekik pada siapa. Namun sesuatu yang jelas dihadapan mereka adalah bangunan dan pepohonan terlihat menari-menari,  membuat manusia mabuk karenanya, padahal manusia tidak meneguk sesuatu apapun yang memabukkan, ataupun menikmati alunan musik dan bergoyang bersama.

Langit mencoba menirukan pekikan mereka,  dengan cahaya menyilaukan dan suara yang meraung-raung bagaikan singa. Mungkin langit penasaran dengan mereka yang memekik seperti itu,  dan mencoba menirukan nya. Hanya saja langit tidak dapat meniru mereka menari dan bergoyang.

Tangisan dan pekikan tetap berlangsung,  bahkan lebih keras dari biasanya.

Bbbraaaaakk... Bbbrruuukkkk...

Sekarang waktunya mereka melarikan nyawa yang sedang dipertaruhkan, dan mencoba segalanya pada keberuntungan mereka masing-masing. Selain bergoyang, mereka mencoba berlari secepat yang bisa dilakukan, karena bangunan telah merasa tidak sanggup menahan godaan dari bumi, yang terus menerus memabukkan, dan memilih hancur daripada berdiri kokoh bersama manusia. Tampak bangunan itu akan menjatuhkan puing-puing miliknya.

"Lariiiiii!"

Begitulah yang mereka ucapkan seiring bangunan itu rubuh, yang sedari tadi dianggap dewa yang tidak akan runtuh. Mereka berada di samping bangunan itu sebelumnya,  jadi tidak mungkin sebagian besar mereka dapat melarikan diri. Sebagian dari tubuh bangunan saja yang menimpa sebagian dari mereka. Tetapi, cukup membuat darah mereka yang tertimpa berat sebuah puing-puing bangunan, berceceran ke mana-mana dan merasa jijik jika ada yang melihatnya.

Bumi belum cukup puas membuat mereka semua mabuk. Walaupun mengatakan cukup di sebagian besar hati mereka, tetap saja bumi masih ingin melanjutkan hasratnya,  yaitu membuat mereka semakin mabuk.

Pekikan dan tangisan memenuhi suasana diri mereka saat ini. Termasuk badrun yang memegang sebuah tangan berwarna darah. Badrun menangis ketika memegang tangan itu,  seraya mengatakan. "Mira... Miraaaaa!"

Yang perlu diungkapkan saat ini adalah seseorang yang tertimpa puing-puing bangunan,  walaupun tidak ada yang tahu sebabnya dia berada di sana, tetapi dipastikan dia tidak dapat menyelamatkan nyawanya, bahkan tubuhnya sudah menyatu dengan tanah,  akibat berat dari puing-puing bangunan, diperkirakan lebih besar dan berat dari manusia itu sendiri. Sedangkan yang selamat dari tertimpanya puing-puing, hanya menangis yang bisa mereka berikan kepada yang tertimpa puing-puing bangunan.  

"Mas... Mas... " Seseorang menepuk pundak Badrun. "Cepat tinggalkan tempat ini. Berbahaya!"

"Mana mungkin aku meninggalkan pacarku!" Ujar Badrun bersikeras.

Tanpa menunggu badrun yang bersikeras tidak ingin pergi. Dua orang pria memaksa badrun,  menarik tubuhnya walaupun badrun tidak melepas tangan penuh darah itu. Badrun yang meronta-ronta bagaikan bayi kehilangan susu,  cukup merepotkan untuk memaksanya pergi. Pada akhirnya badrun pasrah, ketika tubuhnya harus kalah melawan dua orang yang menyeretnya paksa.

"Meriii... Merrriii!" Badrun terus memanggil seakan tangan itu lebih berarti, daripada dua orang yang menyeretnya paksa.

Bumi sepertinya sudah beristirahat dan tidak membuat para manusia, atau beberapa yang di darat merasa memabukkan lagi. Orang-orang yang sedari tadi hanya berjalan tidak beraturan,  dapat menguasai pergerakan mereka lagi. Sebagian dari mereka memasuki kendaraan dan pergi entah kemana, sebagian yang lain terutama badrun, lebih memilih menangis sembari mencoba ke tempat itu,  tentu saja dua orang itu masih menahannya pergi.

Loveland: Romance de AmorTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang