Cinta Dan Luka Paling Indah

126 11 78
                                    


Perayaan wisuda kali ini diselenggarakan begitu meriahnya. Kali ini, mereka yang ber-IQ di atas rata-rata lah yang menjadi peserta. Dan Radit –kekasihku—adalah bagian dari mereka. Jangan tanyakan bagaimana bisa aku hadir di sini tanpa menggunakan toga sepertinya, padahal aku seangkatan dengannya. Jawabannya sudah jelas, otakku tak sejenius Radit. Tapi tak apa. Aku cukup bahagia dengan kapasitas otakku yang seperti ini. Pintar tak selamanya menyenangkan, kawan!

Kutatap senyumannya di depan sana, turut merasa bahagia atas pencapaian dari hasil lelahnya kali ini. Setelah berbasa-basi dengan keluarganya, Radit langsung berjalan tergesa lalu memeluk erat diriku.Tak banyak yang bisa ku hadiahkan kepadanya atas keberhasilannya mendapatkan predikat cumlaudge, selain tersenyum bangga dan membalas pelukannya lebih erat dari biasanya.

“Selamat, ya, salah satu prioritas dalam hidup kamu sudah tercapai. Sekarang, boleh dong aku tau apa prioritas kamu selanjutnya?” ucapku kala itu. Ku lihat dia tersenyum tipis dengan pandangan matanya yang terlihat menerawang jauh, “Bahagia,” jawabnya.

Aku terpaku beberapa detik. Ada sesak yang berdesir dalam hatiku setelah mendengar jawabannya. Bahagia adalah mimpi sederhana yang teramat sulit diraihnya. Menjalin hubungan selama lima tahun membuatku tahu tentang seluk-beluk kehidupannya. Radit yang terlahir dari keluarga terpandang, selalu dituntut untuk menjadi yang terbaik oleh kedua orang tuanya. Tak peduli

“Jadi ... ” ucapanku menggantung di udara, tak mampu melanjutkan.

“Besok aku pergi, Ra.” Aku berbalik, menyembunyikan gerimis yang hadir di pelupuk mata. Hari itu –untuk kesekian kalinya-- aku kembali kalah dengan sesuatu yang bernama prioritas.

                        *****

Seperti katanya kemarin, hari ini aku memutuskan mengantarnya ke Bandara. Selama perjalanan sampai akhirnya tiba, tak pernah sekali pun ku lepas genggaman tangan kami. Ku biarkan kali ini egois menguasai, agar dia tahu ada hati yang merapuh atas keputusannya. Ku rasakan elusan lembut di kepala, disertai dorongan pelan yang mengisyaratkan kepalaku untuk bersandar di bahunya. Aku menuruti. Namun, bukan hanya itu, kusertakan juga sebuah pelukan hangat di tubuhnya, berharap rasa hangat yang hadir mampu merubah keputusannya.

Panggilan suara yang berkumandang dari dalam bandara membuat Radit melepaskan pelukan kami. Aku seakan tersadar. Kami masih berada di dalam mobil di depan pintu masuk Bandara, sementara waktu keberangkatan kian menipis disetiap detiknya.

“Aku harus pergi sekarang, Ra. Kamu gak apa-apa kan, aku tinggal?” Radit masih sempatnya bertanya padahal sebelah kakinya telah menyentuh tanah. Aku tertawa pelan, berusaha meredam sesak  di dalam dada.

Melihatku yang tak menanggapi ucapannya, Radit kembali menarik masuk kakinya dan menutup pintu mobil yang sebelumnya telah terbuka separuh. “Aku serious, Raina Callysta!”  

Ah, dia kira aku sedang bercanda rupanya.

Ku hentikan tawaku sejenak dan berganti menatap ke dalam matanya. “Aku bahkan lebih serious dari kamu, Raditya Putra!” ucapku tegas.

Kali ini ku geser tubuhku agar lebih dekat dengannya. “Pergilah! Kejarlah bahagiamu, Dit. Aku akan menunggu kamu kembali. Dan ini ... “ ku sentuh bagian dadanya, “Jangan pernah kasih ke wanita lain, ya?” ucapku penuh ketulusan. Ku lihat Radit terkekeh lantas mengacak gemas rambutku. Setelahnya, ku rasakan sebuah sentuhan pada tanganku yang berada di atas dadanya. “Ragaku memang akan berada jauh darimu, Ra. Namun hati ini akan selalu berada bersama kamu. Aku paham betul betapa rindu akan sangat kejam kepada dua orang yang terpisah oleh jarak. Itulah kenapa, kutinggalkan hatiku sebagai pelipur lara hatimu kala pelukku tak bisa lagi melindungimu dari terjangan rindu.”

Loveland: Romance de AmorTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang