1.

14.2K 753 23
                                    

Sifra Lee

“Hari ini, kau sudah mulai bekerja di Rumah Sakit Jiwa itu?” pertanyaan yang dilontarkan oleh lelaki tampan bermarga Lee yang menyandang status sebagai kakak tiriku itu membuat semua fokusku menjadi teralihkan kepadanya.

Aku mengangguk sembari mengambilkan sepiring nasi beserta lauk yang sudah kumasak dari setelah matahari terbit. Mungkin sekitar tiga setengah jam yang lalu, dan tentunya masih hangat karena aku baru saja selesai menghangatkannya.

Setelah selesai menaruh piring dan menyajikannya kepadanya, aku mengambil posisi duduk di seberang meja makan. Berhadapan dengannya.

Lee Jongsuk—merupakan nama lengkap kakak tiriku—memulai percakapan lagi di antara kami. “Kukira setelah kau menyelesaikan kuliahmu di NYU sebulan yang lalu, kau akan mencari pekerjaan yang sepadan dengan gelar sarjanamu. Tapi—justru kau bekerja disebuah rumah sakit jiwa di Korea?”

“Lalu?”

“Tidak. Bukan apa-apa, sih, sebenarnya. Hanya saja, bukannya di Amerika itu ada Ayahmu, ya? Kau bisa meminta pekerjaan yang lebih layak padanya. Ayahmu itu bekerja di NYU, bukan?”

Aku tersenyum tipis dan memilih untuk tidak menjawab pertanyaannya. Fokusku sekarang adalah memasukkan makanan yang sudah kumasak ini ke dalam mulutku, lalu kukunyah hingga habis. Setelah itu, aku mencuci piring dan menaruhnya kedalam rak piring. Dan, aku bisa ke halte bus untuk menaiki bus menuju ketempatku bekerja.

Tapi, sarapan pagi ini benar-benar sesuatu yang tidak kuharapkan.

Maksudku, ya, memang bahwa itu merupakan obrolan biasa dan bukan suatu permasalahan sama sekali. Hanya saja, aku benar-benar tidak ingin untuk membahas mengenai pilihan tempat di mana aku akan bekerja atau pekerjaanku yang tidak sesuai dengan gelar sarjanaku di NYU.

Memangnya, gelar sarjana harus berpengaruh pada pekerjaan? Aku tidak pernah berpikir kesitu karena menurutku, selagi pekerjaan itu mudah dan tidak menyita banyak waktuku, serta gajinya yang lumayan, aku tidak masalah ditempatkan untuk bekerja di mana saja dan menjadi apa saja. Semua pekerjaan itu mulia, bukan? Setidaknya itu yang dikatakan oleh mendiang Ibuku—well, Ibunya Jongsuk Oppa juga, sih.

Aku menghela napas dan mood-ku mendadak hancur pagi-pagi begini. Terima kasih, Jongsuk Oppa. Tapi, aku tidak ingin untuk memperdebatkan ini lebih jauh lagi dengannya. Jelas saja Jongsuk Oppa ada benarnya juga. Untuk apa aku kuliah sampai mendapat gelar terbaik dari universitas terbaik, tapi aku malah berujung bekerja di sebuah Rumah Sakit Jiwa.

“Oh, maaf, pertanyaanku membuatmu tidak nyaman, ya, Sif?”

No. It’s fine, reallyit’s just, I don't know what to answer to your question, Oppa,” kukatakan itu dengan senyum tipis yang penuh dipaksakan, lalu aku melanjutkan untuk memasukkan makanan itu ke dalam mulutku untuk di kunyah lagi.

Jongsuk Oppa menenggak air putih yang ada di gelasnya. “Kalau kau mau, aku bisa mencarikanmu pekerjaan di Rumah Sakit tempatku bekerja sekarang, jika kau berminat? Meskipun kau tidak tahu apapun mengenai kedokteran, setidaknya cari pengalaman? Pekerjaan yang melenceng dari jurusan yang kau ambil di universitas, itu bukan masalah apa-apa. Yang penting pekerjaanmu layak.”

“Tapi aku sudah mendapatkan pekerjaan layak yang melenceng dari jurusanku di universitas, Oppa. Bekerja sebagai perawat pasien di Rumah Sakit Jiwa.”

WHOEVER HETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang