Sifra Lee
Ketika jeruji besinya sudah terbuka, aku langsung menutupnya segera. Aku menaruh kuncinya di dalam kantung celana jeans-ku dan aku memfokuskan diriku menatap Jeon Jungkook. Aku mencoba untuk bersikap biasa saja dan setenang mungkin. Dia tidak akan pernah menyakitku. Aku yakin akan hal itu. Jadi aku menghela napas dan memberikan senyum lebar yang khas dariku. “Joheun achim, Doryeonnim.” (Selamat pagi, Tuan Muda) sapaku dengan sangat sopan dan ramah. Aku mencoba untuk membuatnya mengalihkan semua pikirannya saat ini.
Tapi Jeon Jungkook memberikan tatapan tajam kepadaku seraya berkata, “katakan padaku, apa yang harus kulakukan padamu? Hukuman seperti apa yang harus kuberikan, perawatku sayang?”
Aku tertawa. Dan, tawaku ini terdengar seperti merendahkan kalimatnya. Padahal, tidak sama sekali. Aku tertawa karena ekspresi yang diberikan Jeon Jungkook begitu datar dan itu sangatlah lucu di mataku. Tapi ternyata, ini bukanlah sebuah lelucon. Sama sekali bukan. Jadi, Jeon Jungkook tidak menggubris perkataanku, dan justru, ia mengambil langkah demi langkah mendekat padaku. Membuatku terkejut dan terus mundur kebelakang sampai akhirnya aku menabrak dinding selnya. Aku takut. Apa yang akan ia lakukan kepadaku? Kumohon, aku masih terlalu muda untuk mati dini. Aku ingin menikah terlebih dahulu, kumohon jangan bunuh aku.
Aku mengedipkan mata berkali-kali karena ketakutan. Jeon Jungkook mendekatkan wajahnya padaku dan itu membuatku segera menutup mata. Aku takut. Demi apapun yang ada dimuka bumi ini, aku ingin melarikan diri. Aku benar-benar ketakutan.
Ada sekiranya sepuluh detik aku menutup mata, tapi aku sama sekali tidak mendapat perlakuan apapun. Maksudku—tidak ada tanda-tanda pergerakan dari Jeon Jungkook. Yang ada justru rintihan kecil yang keluar dari mulutnya.
Aku membuka mata dan terkejut ketika melihatnya meringis dan memegangi bagian privasinya. Aku bingung. Ah, apa yang terjadi dengannya? Sebelumnya, ia baik-baik saja. Sekarang mengapa jadi seperti ini? Jeon Jungkook meringis kesakitan dan ia merapatkan kedua pahanya dan dua tangannya memegangi bagian privasinya.
Aku tidak tahu apa yang harus kulakukan, tapi aku tahu bahwa ia sangat merasa kesakitan sekarang. Jadi, aku bertanya padanya, “T-Tuan Muda, apa yang terjadi denganmu? Kau merasakan sakit disebelah mana?” Tuhan, tolong aku. Semoga Jeon Jungkook tetap baik-baik saja. Aku sama sekali tidak mengerti dengan apa yang terjadi padanya sekarang.
“Pipis! A-Aku mau pipis, Noona. Serius, aku sudah tidak tahan,” ujarnya dengan penuh terbata-bata. Aku mengangguk dan—eh, tunggu—tadi dia bilang apa barusan? Noona? Hah? Jeon Jungkook memanggilku dengan sebutan Noona? Aku tidak salah dengar? Aku membuka mulutku dan ingin bertanya, apa yang terjadi denganmu, Tuan Muda? Mengapa kau memanggilku Noona? Tapi itu semua kuurungkan ketika sekali lagi ia memanggilku. “Noona, apakah Noona akan diam seperti itu saja? A-Aku mau pipis sekarang. Tolong bantu aku, Noona.”
Aku mengangguk dan aku segera membuka gembok jeruji besinya. Tapi, Jeon Jungkook tidak beranjak dari sana. Aku bingung. “T-Tuan Muda, jika kau ingin buang air kecil, keluarlah dari sel-mu dan segera kekamar mandi.”
“Noona . . .” panggilnya lagi dengan keadaan masih memegangi bagian privasinya. Aku berdecak dan aku tidak tahu harus melakukan apa. “Dowajwoyo, Noona. Aku benar-benar ingin pipis sekarang. Noona, Kookie ingin pipis! Kookie ingin pipis. Sudah tidak tahan. Aduh,” (Tolong aku)
KAMU SEDANG MEMBACA
WHOEVER HE
Fanfiction[SELF-PUBLISHING & TERSEDIA VERSI EBOOK] Menjadi perawat di sebuah rumah sakit jiwa itu tidaklah mudah. Sungguh, percaya padaku. Pasalnya, pasien yang kurawat ini bukan pasien dengan tingkat kegilaan yang melebihi rata-rata-melainkan ada banyak raha...