Sifra Lee
Tatapan tajam yang diberikan oleh pasien muda bernama Jeon Jungkook ini membuatku ketakutan setengah mati dan rasanya aku benar-benar menyesal telah membuat keputusan bodoh dengan meminta jeruji besinya untuk di tutup dengan teralis baja. Aku menarik napas dan membuangnya perlahan-lahan. Kucoba untuk menetralisasi pernafasanku dengan normal. Mencoba untuk menenangkan diriku sendiri sembari dalam hati merapal doa semoga Tuhan selalu memberkati dan menjagaku. Tapi, tidak bisa kuhindari bahwa Jeon Jungkook ini sebenarnya begitu menakutkan, walau ini pertama kalinya aku bertemu dengannya. Jelas bahwa tatapan matanya menunjukkan kebencian terhadapku. Oh, apakah sekarang aku sedang bersikap sok tahu tentang apa yang Jeon Jungkook rasakan? Ya, kukira begitu, sepertinya.
Aku memberikan senyum lebar seraya mendekat selangkah kepadanya. Namun, Jeon Jungkook tetap tidak bereaksi. Mimik wajahnya datar, matanya menatapku tajam. Tapi—ah, aku tidak bisa berbohong bahwa semua itu terlihat sangat seksi bagiku. Oke, aku mulai gila sekarang. Ya, mungkin aku akan mengakui itu.
Tatapan Jeon Jungkook yang begitu mengintimidasi, tapi perlahan dapat mengurangi rasa ketakutanku ketika kuteliti wajahnya lebih dalam lagi. Kuperhatikan mulai dari bentuk rambutnya yang seperti buah kelapa, keningnya yang agak lebar (tapi tidak terlalu lebar)—tertutupi oleh poninya yang menyamping kearah kiri, warna hitam pekat pada rambutnya yang menjadi daya tarikku saat ini, mata bulatnya yang terlihat begitu terang dan bercahaya sedikit, lalu, kuperhatikan alis matanya yang agak tebal, kemudian hidungnya yang mancung sekali. And I saw his lil' mole at the bottom of his nose. Kedua pipinya yang sangat tirus itu—apa benar Jeon Jungkook diperlakukan dengan baik di sel ini, walau dia merupakan pasien istimewa?
Tatapanku beralih pada bibirnya yang terlihat berwarna merah muda dan itu benar-benar menggodaku. Sepertinya bibirnya begitu lembut? Bagaimana kalau aku mencobanya dengan menciumnya? Oh, Sifra, kau semakin kehilangan kewarasanmu sekarang.
Memang benar, banyak orang mengatakan bahwa jika kau bekerja di Rumah Sakit Jiwa, maka kau juga akan kehilangan kejiwaanmu, kewarasanmu.
Aku—tanpa permisi—menduduki ranjangnya dan posisiku tepat disebelahnya. Aku tahu bahwa aku bertindak kurang ajar sekarang. Tapi kurasa, ini adalah satu-satunya cara untuk mendekat dan mengambil hatinya perlahan. Dengan cara ini, aku bisa membantunya untuk sembuh dan kembali normal.
Aku akan menolongnya. Aku akan menyelamatkannya.
“Young Master—is that really necessary? Should I call you that, even if I’m older than you?” Tanyaku sembari mencolek bahunya.
Aku berharap, setidaknya ia berkata atau mengucapkan sepatah kata saja—aku ingin mendengar suaranya.
“Jeon Jungkook—maksudku, Tuan Muda—apa kau mengerti apa yang aku katakan? Uhm, aku tadi mengatakannya dalam Bahasa Inggris. Ya, karena aku kan lulusan dari NYU dan aku mengambil jurusan Sastra Inggris. Aku sudah lulus dan mendapat gelar sarjana. Bagaimana menurutmu, Tuan Muda?”
Dia tidak bereaksi lagi. Aku selalu tidak pernah mendapatkan jawaban atau sekadar hai, senang bertemu denganmu, perawatku—tidak sama sekali.
KAMU SEDANG MEMBACA
WHOEVER HE
Fanfiction[SELF-PUBLISHING & TERSEDIA VERSI EBOOK] Menjadi perawat di sebuah rumah sakit jiwa itu tidaklah mudah. Sungguh, percaya padaku. Pasalnya, pasien yang kurawat ini bukan pasien dengan tingkat kegilaan yang melebihi rata-rata-melainkan ada banyak raha...