20 Agustus, 2016, 7.05 AM
Serpihan cahaya mulai menerangi gelapnya kamar Juyeon, bersamaan dengan terdengarnya suara bantingan pintu yang sebenarnya tak perlu begitu keras. Suara lengkingan dari salah satu teman apartemennya, Kevin, menjadi alarm pagi baginya. Jenis suaranya terkadang semanis madu. Sayangnya, di tanggal 20 ini, Juyeon sudah siap mematahkan rahang Kevin dan menarik keluar pita suara yang begitu berisik di pagi itu. Dan itu jadi cemoohan bagi Juyeon yang baru saja bangun.
"Jam tujuh lewat lima! Kau membuang waktu lima menit di atas kasur. Cepat bangun Juyeon, kita akan ketinggalan kereta!" Seru Kevin.
Juyeon menggeram dan getaran suaranya teredam di bantal di mana ia menenggelamkan kepalanya. "Bangunkan saja yang lain! Kenapa kau harus bangunkan aku dulu? Oh, Tuhan." Juyeon membentak balik. Ia menghela nafas dan mencoba kembali ke ketenangan yang terlukis di mimpinya.
"Younghoon sudah membangunkan Changmin, dan Jacob sedang memasak untuk kita. Cepat bangun!" Balas Kevin. Juyeon membuka mata kantuknya dan menatap Kevin. Anak itu sudah mengenakan seragam rapi. Kevin merupakan anak pindahan dari Kanada, sama seperti Jacob. Jacob sudah lulus di Toronto sebelum pindah ke Korea, membawa mimpi sebagai seorang penyayi. Mimpi yang tinggi, huh? Benak Juyeon ketika tahu hal itu dulu. Kevin pindah ke Korea beberapa bulan yang lalu dan bergabung bersama 4 pemuda lainnya. Mengenal Jacob lebih lama sebelumnya, terasa seperti sebuah takdir bagi Juyeon dan Kevin.
"Sepagi apa kalian bangun? Di luar saja masih gelap," gerutu Juyeon. "Aku bahkan tak bisa tidur dengan tenang, sial." Juyeon dengan ogah-ogahan keluar dari kelumunan selimutnya. Udara dingin di kamarnya menyentuh kulit dadanya yang telanjang dan ia sedikit menggigil. Agak kasar ia mendorong Kevin, mengambil handuk, and berjalan menuju kamar mandi untuk bebersih.
---
Juyeon mengunyah daging asap yang sudah disiapkan oleh roommate tertuanya. Juyeon tinggal di satu apartemen bersama keempat temannya yang lain. Changmin adalah yang paling muda, diikuti Kevin, Juyeon, kemudian Younghoon dan Jacob. Changmin, Kevin, dan Juyeon satu angkatan, sedangkan Younghoon dan Jacob satu tahun lebih tua dari mereka.
"Aku bangun untuk sarapan dengan ini?" gumam Juyeon. Mata Kevin bertemu dengan tatapan tajam dari Juyeon, membalas dengan ketajaman yang sama.
"Aku mendengarmu." Ucap Jacob, sebuah tawa terdengar dari suaranya. "Cepatlah makan, sudah hampir jam tujuh. Kalian bertiga masih harus mengejar kereta." ucapnya sambil mengayunkan garpu ke arah tiga siswa di sana.
"Ya, ya," Ucap Juyeon. Changmin mengunyah daging asapnya dengan cara yang menggemaskan. Juyeon, secuek-cuek sifatnya, selalu menganggap kebiasaan Changmin itu menggemaskan dan dalam benaknya, Juyeon mengagumi itu. Changmin adalah siswa berkelas A+ yang selalu konsisten menjaga nilainya paling tidak rata-rata. Younghoon menyendok penuh telur dari piring dan menyuapi Changmin. Juyeon langsung membuang jauh rasa kagumnya ketika melihat pemandangan itu, hampir muntah dia. Younghoon dan Changmin menempel satu sama lain, lebih mirip satu kesatuan dari pada dua individual yang berbeda.
"Younghoon, hentikan," ucap Jacob. "Kau membuat mereka terlambat." Younghoon memeletkan lidah padanya.
Keempat pemuda itu melanjutkan makan mereka, kemudian segera menuju pintu keluar untuk menjalankan keseharian mereka. Yang bagi Juyeon, itu adalah bertahan dalam perjalanan menuju neraka yang dunia kenal sebagai "sekolah" berharap dirinya akan kembali dalam keadaan utuh.
---
Di dalam kereta, Juyeon mendengarkan lagu dengan volume maksimal, berharap dapat meredam suara lebur yang dihasilkan oleh kereta menuju sekolah mereka itu. Dentuman yang stabil dan nada yang suram dari musik low quality begitu kontras dengan suasana yang begitu cerah di bulan Agustus. Melirik ke luar jendela kereta, di balik kaca yang memisahkan kerumunan dalam kereta dari dunia luar, cahaya matahari menusuk tajam melalui lapisan-lapisan ozon, menembus batas awan, dan memancarkan cahaya yang menyelimuti lanskap kota Korea dalam rona kekuningan.
Juyeon membiarkan mulutnya menghasilkan sebuah keluhan. Ia lebih menyukai abu-abu, hari yang suram dibanding hari yang cerah. Kevin menyenggol sikutnya dan mengangguk.
"Kau baik-baik saja?" Tanya Kevin, sedikit khawatir.
"Ya, aku baik-baik saja. Hanya sedikit tidak yakin," jawabnya.
"Kau akan baik-baik. Ini hanya hari pertama di tahun ketiga. Hal buruk apa yang bisa terjadi?" Juyeon melihat ke arah Changmin, yang sudah seibuk dengan sebuah buku, kemudian kembali kepada Kevin. Juyeon menghela nafas dan memaksakan sebuah senyum. Kevin membalasnya senyuman itu.
----
Hal buruk apa yang bisa terjadi? Kata-kata Kevin terukir kembali di dinding otaknya. Hal buruk apa yang bisa terjadi? Ha. Ini yang bisa bisa terjadi. Pikiran Juyeon berpacu begitu jauh.
Juyeon duduk di bangkunya dan dengan kantuk ia menunggu hingga guru memasuki ruangan untuk memulai kelas, kemudian ia bisa pulang dan kembali tidur. Pikirannya menenang hingga ia mendengar suara decit kaki kursi dari bangku di sebelahnya. Juyeon menoleh.
Hal buruk apa yang bisa terjadi?
Wajahnya terlihat tak asing, tapi Juyeon tak bisa menyematkan nama atau orang yang sesuai. Anak ini tampan. Di mana Juyeon pernah melihatnya sebelum ini? Ia tersenyum sedikit canggung kepada si murid baru yang tengah menudukkan dirinya di bangku. Pintu kelas akhirnya terbuka, dan suara ribut langsung terhenti ketika sang guru memasuki ruangan dengan wajah tajam.
Juyeon dapat mendengar detak jantung teman-teman sekelasnya ketika tawa singkat keluar dari guru itu sembari memindai wajah mereka satu-persatu.
"Tenang, aku hanya main-main dengan kalian. Namaku Sangyeon, tapi aku lebih suka mendengar kalian memanggilku Pak Lee. Atasanku mewajibkan formalitas untuk kalian." rasa tegang di ruangan itu akhirnya lepas, dan detak jantung anak sekelas mulai mereda. Kecuali Juyeon.
Di tengah pelajaran Pak Lee, Juyeon terus mencuri pandang dari wajah teman sebangkunya itu. Ia melirik terlalu lama hingga titik di mana ia mulai menatapnya. Ia kemudian ingat siapa sosok ini.
Anak itu menoleh dan tersenyum dengan canggung. Juyeon dapat merasakan pipinya merona.
"Hai, Aku Eric," bisiknya dengan riang sembari mengulurkan tangan pada Juyeon untuk dijabat.
Ini. Ini hal buruk yang bisa terjadi.
----------------------------------
A/N: Gimana gaes? Aneh nggak bahasanya? Kalo ada yang aneh maaf ya, saya bukan translator belisensi soalnya wkwk... Oh, ya. Enaknya aku kasih link ke akun author aslinya perchapter atau nggak ya? Takutnya ntar kalian malah kespoiler, atau malah asik baca di sana. trus aku jadi percuma nerjemahinnya :((
Gimana ya? Apa aku kasih di chap akhir aja?
KAMU SEDANG MEMBACA
Dreamscape (Story by markgeollli in AO3)
FanfictionPemandangan yang bagaikan mimpi buruk di benak Juyeon itu terus mengusiknya selama berbulan-bulan. Entah itu ketika ia tidur atau pun ketika ia tengah terjaga. Namun, itu semua terhenti di malam sebelum tahun ajaran baru di mana dirinya memasuki tin...