= enam =

345 57 8
                                    


Usai makan malam, yang lumayan mengingat kemampuan memasak Younghoon, kelima penghuni apartemen itu kembali ke kamar masing-masing untuk mengakhiri hari mereka di tempat tidur. Kevin membuat suara aneh merangkak menuju kamar Jacob, tapi Juyeon tak mau tahu apa yang Kevin lakukan di sana. Dia masih kesal dengan anggapan Kevin bahwa dia memiliki perasaan pada Eric. Aku tidak suka padanya. Dia bahkan tidak akan menyukaiku balik. Dia hanya anak yang baik dan kami juga menjadi teman yang baik. Dan aku senang berada di sekitarnya... Benak Juyeon. Ia berteriak dan menggemakan suaranya dalam bantalnya.

Cahaya kuning yang lembut dari lampunya menerangi kamar dan mengundang bayangan di sekitarnya. Rasa tertekan dan penyangkalan dari dirinya begitu kontras dengan suasana kamar yang lembut dan tenang. Ia senang Kevin memutuskan untuk pindah kamar malam ini. Ia tak bisa membiarkan Kevin melihatnya seperti ini: kacau. Anak itu dua tahun lebih muda dariku. Bagaimana mungkin aku menyukainya? Apakah salah ketika merasa khawatir akan seseorang? Sial, Juyeon mempertanyakan pemikirannya sendiri.

Ia mulai menendang dan bergerak di atas tempat tidurnya di bawah selimut, membuat suara-suara yang tidak terdengar seperti suara manusia. Perasaan Juyeon memantul-mantul di ruangan dengan kecepatan tinggi, siap menghantam wajah siapa pun dan membuatnya pingsan. Juyeon sekali lagi berteriak ke dalam bantalnya namun terhenti dan membatu tiba-tiba ketika ia dengar suara ketukan yang keras dari kaca jendelanya, menongolkan kepalanya dari balik selimut. Reaksi terkejutnya diperjelas dengan raut wajahnya ketika menyadari asal suara ketukan itu.

Di sana, di balik jendela kamarnya yang terhubung dengan tangga darurat, ada Eric. Wajahnya mengeras dengan alis yang menaut sedih dan mata yang merah. Juyeon dengan cepat melempar selimutnya, mengambil kaus yang tadi ia lempar dan memakainya untuk menutupi tubuh bagian atasnya. Ia kemudian berjalan menuju jendela dan membukanya. Udara malam memasuki kamarnya, begitu pun aroma perkotaan.

"Eric?" Juyeon bertanya dengan nada bingung. "Apa... apa yang kau lakukan di sini?"

"Hai, maaf. Ini larut. Boleh... Boleh aku masuk?" Suara Eric terdengar lembut dan Juyeon menangkap nada kesediihan dari cara bicaranya.

"Ya, tentu. Tunggu, ada apa?" Juyeon bertanya selagi memberi jalan untuk Eric memanjat jendela untuk masuk ke kamar kecilnya. "Apa yang terjadi?" Eric kini merintih dari air mata yang mengalir jatuh di pipi merah mudanya.

"Boleh... boleh aku duduk?" Tanya Eric sembari menjelajahi lantai kayu itu.

"Silahkan. Tapi di kasurku, Kev tidak suka ada yang duduk atau tiduran di kasurnya." Juyeon menunjuk kasurnya yang berada di sebelah kanan. "Eric, apa yang terjadi?" Juyeon duduk di sisi Eric, yang menangis dengan lembut. "Hei. Hei, tenanglah. Jangan menangis." Juyeon tak tahu apa yang harus ia lakukan. Ia mengingat kembali bagaimana Eric memeluknya di hari cerah waktu itu. Juyeon mencerminkan tindakan temannya itu, kemudian melingkarkan lengannya di pundak Eric, mencoba sebisa mungkin menenangkan temannya yang menangis. Akhirnya, Eric bicara.

"Orang tuaku bertengkar, lagi." Ucap Eric, mencoba menahan isak tangisnya. "Sudah dua hari mereka selalu bertengkar. Hanya karena hal-hal sepele. Aku sudah muak dengan itu." Tanpa disangka, Eric meletakkan kepalanya di bahu Juyeon.

"Hei, aku tak tahu harus berkata apa, tapi aku di sini untuk mendengarkan dan membantumu, oke?" Ucap Juyeon, menghibur Eric. Lelaki yang lebih muda itu kemudian memaksakan sebuah senyuman dan mengangguk. "Kau bisa ceritakan padaku, oke?" Eric kembali mengangguk.

"Semua yang aku dengar hanya teriakkan, bahkan di malam yang larut. Aku bahkan tak bisa belajar atau tidur dan aku tidak ingin bicara pada mereka. Karena memangnya apa yang bisa aku katakan?" Suara Eric kini terdengar marah. "Mareka bahkan seperti tidak memperhatikanku setiap saat! Yang ayahku pikirkan hanya uang dan ibu kesulitan untuk mengatur keuangan kami! Aku butuh suatu tempat untuk pergi, dan kau orang pertama yang muncul dipikiranku. Maaf." Eric menunduk dan sosoknya yang kecewa begitu menyakiti hati Juyeon.

Dreamscape (Story by markgeollli in AO3)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang