Langit Ayah - Chapter IV.1

76 4 0
                                    

Catatan Harry – Part 4.1

Aku sedang berjalan di sebelah ayah, di sebuah padang rumput beratapkan langit biru yang luas dan jernih. Angin berhembus sangat lembut dan membuat dedaunan saling bergesekan, menimbulkan suara desiran yang menenangkan.

Ayah terlihat menjulang tinggi di sebelahku, berjalan lambat agar langkah kaki kecilku tak kesulitan mengikutinya. Ia menatap ke depan sambil masih membiarkanku menggenggam telunjuknya dan mengayunkannya riang. Setiap kali berjalan-jalan dengan ayah, memang tak pernah sekalipun ia melepaskan tanganku. Lalu tiba-tiba aku teringat akan suatu hal, entah kenapa aku merasa sangat perlu menanyakannya.

"Ayah, apa aku sering membuatmu sedih?" Suaraku terdengar kecil dan nyaring.

Lalu ayah menoleh padaku, sinar matahari dari belakangnya membuat mataku silau dan tak bisa melihat wajahnya dengan jelas. Sampai kemudian ayah berjongkok di hadapanku, ia tersenyum, tapi wajahnya terlihat sedih. Ayah menyentuh pelan kepalaku dan mengatakan sesuatu, tapi aku tak bisa mendengarnya.

Suasana mendadak hening, bahkan suara angin pun tak terdengar lagi. Bibir ayah bergerak mengatakan sesuatu, dan setetes air jatuh dari matanya. Tiba-tiba aku tertarik ke sebuah lorong gelap, sosok ayah di padang rumput itu menjauh. Kemudian seperti rekaman video yang diputar sangat cepat, aku melihat satu per satu kenangan masa kecilku. Ada sekumpulan orang sedang tertawa sambil menatapku.

"Kenapa kamu gak ikut ibumu saja?" kata salah seorang dari mereka. "Yang di rumah itu bukan ayahmu," sambung yang lainnya.

"Wajahnya saja nggak mirip, entah anak siapa dia ini."

"Matanya itu mungkin kutukan."

"Sana cari ibumu, tanya siapa ayahmu sebenarnya. Menyusahkan saja."

Yogi kemudian muncul, marah-marah, dan berkelahi dengan entah siapa. Kak Yoga berlutut di hadapanku, lalu menangis sambil memelukku erat. Tapi dia tidak mengatakan apapun. Lalu sosok kak Yuan terasa sangat jauh di ujung sana, membelakangiku sambil mengelap sesuatu di matanya, kulihat pundaknya bergetar.

"Harry..." Ayah memanggilku bersamaan dengan tangan yang tiba-tiba muncul menyentuh pelan kepalaku. "Kamu anak yang baik, sayang. Jangan menangis...."

---

Aku terbangun dengan mata yang basah. Ternyata cuma mimpi. Meskipun begitu, air mataku benar-benar mengalir. Dan rasanya sangat menyedihkan, entah kenapa aku jadi ingin menangis waktu mendengar ayah bilang kalau aku anak yang baik.

Kenapa ayah bilang begitu? Apa dia sedang meyakinkan dirinya sendiri bahwa tak ada ruginya merawatku karena aku anak yang baik meskipun aku bukan anaknya?

Padahal seharusnya aku sudah tak terganggu lagi soal kenyataan bahwa aku bukan anak ayah. Tapi tadi, setelah B4 tutup, aku masuk ke kamar kak Yuan untuk meminjam salah satu koleksi buku kak Yoga. Ia memintaku mencarinya di lemari.

Saat itulah aku menemukan surat yang ditulis ayah untuk bunda, terselip di antara buku-buku lama. Surat yang malam itu dibaca bunda sampai membuatnya menangis terisak-isak, surat yang berisikan kecurigaan ayah namun tak pernah dikirimkannya, karena ia terlalu menyayangi bunda. Aku penasaran dengan isinya, lalu diam-diam aku membacanya.

"Untuk Gita Tercinta.

Maaf aku tak mengizinkanmu pulang. Gita, aku tahu kamu berbohong saat kamu bilang kamu tidak punya lelaki lain sejak menikah denganku. Yanti memberitahukan semuanya padaku. Aku tahu dia tak begitu menyukaimu, makanya aku tak ingin langsung mempercayainya. Aku bertahan dan memilih untuk percaya padamu.

Imperfection [SUDAH TERBIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang