Catatan Yoga - Part I

119 9 2
                                    

Author : "Hai semua, mohon maaf, liburan akhir tahun sudah berakhir. Jadi saya nggak bisa terlalu sering update..."

Yoga : "Oh... please, just cut it out. Mulai saja ceritanya, kata sambutanmu gak penting."

Yogi : "Kayak ada yang mau baca aja. Paling juga orang-orang langsung skip ke ceritanya."

Harry : "It's not about you. It's about us. So, shut up already."

Author : "You shut up! I create you, dammit!"

___________________________

Umeboshi - 1


"Kak, jangan nangis. Aku nggak apa-apa kok."

Harry menatapku dengan wajah polosnya yang sudah kotor terkena lumpur. Rambutnya berantakan, tergunting disana-sini. Telapak tangan dan lututnya terluka karena dia baru saja terjatuh. Tapi ia sekarang dengan tegar menatapku yang cuma bisa berdiri diam di hadapannya.

"Aku nggak apa-apa, aku nggak akan nangis lagi, janji. Makanya kakak juga jangan menangis, ya?" katanya lagi, dan kali ini ia bicara sambil memberiku senyuman.

Rasanya seolah ada pisau tipis yang mengayun-ayun liar di dalam rongga dadaku, seakan mengiris hati ini tanpa ampun. Aku berlutut agar bisa menatap wajahnya lebih jelas.

"Ada yang sakit?" tanyaku sambil mengusap lumpur di pelipis mata kanannya.

Harry menggeleng tanpa ragu. "Nggak apa-apa," katanya sambil merapikan rambutnya. "Kalau menangis nanti ayah sedih. Jadi, kita nggak boleh menangis, kan?"

Ia mengatakan itu sambil masih tersenyum lebar padaku. Bukannya lega, aku malah semakin tak kuasa menahan air mata. Aku langsung membawa seluruh tubuhnya ke dalam pelukanku. Aku bahkan tak peduli lagi walau Harry terus memintaku untuk tidak menangis.

Itu adalah saat-saat yang akan terus membekas dalam memoriku. Hari itu, aku dan Yogi menemukannya berada di antara anak-anak yang badannya jauh lebih besar daripada dia. Mereka melemparinya dengan lumpur dan menggunting rambutnya. Harry adalah pihak yang paling terluka, secara fisik maupun mental. Tapi dia sama sekali tak menangis, malah aku yang dibujuknya agar berhenti menangis.

Padahal dulu dia sangat cengeng, aku sempat tak bisa mengingat wajah kecilnya kecuali wajah yang berlinangan air mata. Aku rasa, dia mulai jarang terlihat menangis sejak kejadian di Jakarta dulu.

Pernah suatu sore, setelah bermain di taman komplek, ia pulang sambil menangis sampai seluruh wajahnya basah. Ia kemudian bertanya:

"Apa ayah membenciku?"

Aku tak mengerti kenapa tiba-tiba dia bertanya begitu. Aku mengusap air matanya sambil lalu memeluknya. "Kenapa? Ayah nggak mungkin benci sama kamu, Harry," kataku waktu itu.

Tapi dia tetap saja menangis sambil terus-terusan menanyakan hal yang sama. Disaat aku sedang kebingungan menghadapi Harry, Yogi masuk dengan wajah merah menahan emosi. Sesaat matanya liar memandang berkeliliing. Lalu ketika ia menemukan Harry di dekatku, dia langsung mendatangi kami dan menangkap lengan Harry.

"Jangan pernah main ke sana lagi, mengerti!" bentaknya kasar.

Aku menepis tangannya lepas dari Harry. "Kamu kenapa? Jangan kasar!"

"Kelompok ibu-ibu tukang gosip itu suatu saat akan kuracuni sampai mati!" kata Yogi lagi. Ia tampak sangat murka. "Tadi Harry main ke lapangan itu, kamu tahu 'kan kalau setiap sore wanita-wanita tua itu suka ngumpul dan saling bertukar gosip di sana – pokoknya jangan biarkan Harry ke sana lagi. Salah seorang dari mereka memanggil Harry dan bicara macam-macam." Yogi mengatur nafasnya untuk mengendalikan emosi.

Imperfection [SUDAH TERBIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang