Namanya Maya - Chapter III.1

120 13 0
                                    

Apa kabar, mina-san~~~

Chapter ini akan banyak menceritakan tentang kehidupan sekolah Harry, dunia basket SMA, dan Putri. Nanti saya juga akan menyelipkan ilustrasi (penampakan) Damar. Sekali lagi saya tegaskan, pic ilustrasi yang ada di sini semuanya bukan milik saya. Hak cipta tetap kepada creator aslinya.

Selamat membaca  ^o^)9

___________________________

Catatan Harry - Part 3.1

Minggu pagi, aku sedang menyapu rumah – lantai dua – termasuk kamar kak Yuan dan kak Yoga. Saat sapuku menjangkau bawah kolong tempat tidur, aku menemukan sesuatu yang menarik. Kardus berisikan tumpukan surat dan kartu ucapan. Aku melirik pintu kamar, cuma terbuka sedikit. Mereka semua juga sepertinya masih sibuk di ruang tengah. Tidak ada salahnya kalau aku melihat-lihat apa yang ada di dalam kardus ini.

"Harry." Tiba-tiba kak Yuan masuk, dan aku refleks menendang kardus masuk kembali ke kolong tempat tidur. "Ngapain?" tanyanya sambil menghampiriku.

"A-aku cuma melihat-lihat..., tadi waktu bersih-bersih nggak sengaja..."

Ya ampun, aku rasa aku terkena kutukan gatal seluruh badan kalau sedang berbohong pada kak Yuan.

Kak Yuan menghempas nafas sambil lalu berjongkok untuk mengambil kembali kardus yang kutendang masuk tadi. "Kamu sudah melihatnya, ya?"

Ia lalu duduk di bibir tempat tidur dan mengamati salah satu surat dari dalam kardus itu.

"Semua ini surat-surat yang dikirim bunda untuk kalian," sambungnya lagi. "Aku menyembunyikannya. Aku selalu bilang semua surat yang di antar ke rumah harus diserahkan padaku lebih dulu, itu karena aku tak mau satu surat pun sampai ke tangan kalian." Mata kak Yuan yang biasanya terlihat teduh kali ini tampak murung.

"Kakak rindu bunda?" tanyaku hati-hati.

Sesaat kak Yuan hanya balas hening. Ia lalu beranjak dan mengangkat kardus berisikan surat-surat itu.

"Sudah tidak ada gunanya lagi, Harry," jawabnya kemudian sambil melangkah menuju pintu kamar.

Kupikir dia sudah akan pergi membuang kardus itu entah kemana, tapi ternyata dia mengurungkan niatnya dan berbalik. "Kamu tahu bagaimana dulu bunda meninggalkanmu?" tanyanya sambil menatapku lurus.

Karena aku tak menjawab juga, dia meletakkan kardus itu di dekat pintu, berjalan kembali menghampiriku dan duduk di tempat semula sambil lalu mengangkat wajahnya untuk menatapku.

"Pagi-pagi ia meninggalkanmu di depan pintu rumah. Kamu menangis sambil menggenggam permen yang sudah lumer ditanganmu." Ada kubangan air yang mulai terbentuk di kelopak matanya. "Bunda..., dari dulu dia memang bukan wanita baik-baik, sebenarnya aku tak ingin mengatakan ini, tapi dia memang keterlaluan."

Kali ini ia tertunduk dalam sampai aku tak bisa melihat wajahnya lagi. "Aku lebih menyayangi ayah dibandingkan diriku sendiri. Ayah sudah mau menerima bunda yang seperti itu, dia bahkan mau menerimaku yang tak ada hubungan darah dengannya. Tapi bunda, ia hanya memikirkan dirinya sendiri. Aku kasihan pada ayah, dia lelaki yang terlalu baik," sambungnya lagi.

Suara kak Yuan terdengar parau. Dia jelas sedang menahan air matanya. Dan aku hanya bisa berdiri di hadapannya tanpa tahu harus berbuat apa.

"Maafkan aku," lirih kak Yuan. "Aku tidak bermaksud merusak image seorang ibu yang kamu simpan. Seharusnya aku tidak menceritakan ini semua. Apa yang kupikirkan? Aku berusaha membuatmu juga membencinya... Padahal..."

Kalimat kak Yuan terhenti saat aku memeluknya, kutopangkan daguku di bahu itu sambil lalu mengusap-usap punggungnya.

"Aku sayang Kak Yuan," gumamku. "Aku sudah nggak perlu apa-apa lagi. Kakak sudah memberikan semuanya padaku," tambahku lagi.

Imperfection [SUDAH TERBIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang