Ayah Bilang, Jangan Membenci - Chapter II.3

123 14 0
                                    

Hola! Yogi di sini.

Kali ini aku bakal gantiin Author ngasi kata sambutan. Mhehehehe...

Berani-beraninya dia motong cerita ini pas Harry lagi mengenang masa lalu.

Mana boleh!

Nih, aku kasi dua part langsung malam ini. Besok bakal jadi part terakhir sebelum masuk ke chapter 3, itu berarti, akan ada pic Harry yang baru. Chapter baru, pic baru! Yess!

Selamat membaca :)

___________________________

Catatan Harry - Part 2.3

Kalau tidak salah, ayah membawa kami pindah ke Pekanbaru saat usiaku delapan tahun. Dia bekerja siang dan malam demi merintis usahanya, sampai akhirnya sekitar dua tahun berlalu dan B4 semakin stabil, kami mulai memiliki pelanggan tetap.

Tapi kemudian ayah sering jatuh sakit, tak bisa melakukan apa-apa selain terbaring lemah di tempat tidur. Waktu itu aku sempat mengobrol dengannya tentang teman-temanku di sekolah yang baru. Ada anak perempuan yang duduk tepat di sebelahku bilang;

"Harry, kalau sudah besar aku ingin sekali menjadi pengantinmu. Tapi kalau melihat gaun pengantin yang bagus, aku jadi ingat, pasti akan lebih cantik kalau Harry yang pakai."

Mendengar itu ayah malah tertawa dan membuatku jengkel.

"Ayah, jangan tertawa. Seharusnya Ayah marah mendengarku diejek begitu."

Perlahan ayah meredakan tawanya sambil lalu mengelus rambutku dengan tatapan sayang. Katanya, "Kamu mirip sekali dengan bunda."

"Aku nggak mau mirip bunda. Aku mau mirip ayah saja," timpalku cepat.

"Tentu saja kamu juga mirip ayah. Tapi mirip bunda-nya lebih banyak. Bunda juga punya bulu mata panjang dan lentik sepertimu, hidungnya bangir." Dia mencubit hidungku gemas. "Bibirnya juga merah walaupun tanpa lipstik, indah, persis seperti bibirmu. Bola matanya berwarna cokelat jernih..."

Ayah terdiam sejenak sambil menatap mataku lekat-lekat. Mendadak tatapannya terlihat sangat sedih seperti sedang menahan sakit yang amat sangat.

Ia menghela nafas sambil kembali mengumbar senyum di bibir pucatnya. "Dan rambutmu...," sambungnya lagi. "Lembut dan halus, berkilauan di bawah cahaya, terpisah setiap helainya. Kamu mewarisi semua keindahannya, Harry. Wajahmu adalah duplikat wajahnya." Lalu air mata mengalir dari sudut matanya.

"Ayah kok nangis? Ada yang sakit?"

"Bukan. Ayah memang ingin menangis. Sayang... Ingat ya, kalau ada sesuatu yang sangat berharga bagimu, kamu boleh menangis untuknya."

Aku mengangguk saat itu, meskipun tak begitu paham apa maksud perkataan ayah. "Tapi kenapa ya? Kenapa di tempat tinggal kita dulu banyak sekali orang yang membenci kita?" tanyaku kemudian.

Ayah tersenyum sambil mengusap rambutku dan bilang, "Ayah tidak tahu, Harry. Tapi setiap kali orang membenci, mereka pasti punya alasan. Mungkin mereka terlalu banyak melihat sisi gelap kita, tanpa menyadari kalau kita juga memiliki sisi terang. Makanya jangan balas kebencian mereka dengan kebencian yang sama, karena itu akan membuat diri kita semakin terlihat gelap di mata mereka dan memberikan lebih banyak alasan untuk membenci. Tapi, kita tak pernah butuh alasan apapun untuk saling menyayangi, 'kan? Bukankah lebih baik untuk menyayangi saja?"

"Masa' harus menyayangi orang yang membenci kita?" gerutuku kesal. "Sudahlah. Biarkan saja, aku nggak peduli. Toh kita nggak butuh mereka."

"Jangan begitu. Dengar ya, anak Ayah yang baik... Tidak ada orang yang pantas untuk membenci dan dibenci. Benci itu seperti racun. Semakin banyak kamu membenci seseorang, semakin banyak juga kamu menimbun racun dalam dirimu. Itu akan menyakiti dirimu sendiri. Jadi, kamu harus ingat ya, biar bagaimanapun kamu jangan pernah membenci..."

Imperfection [SUDAH TERBIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang