💔💔💔 Repost 22 Januari 2023
Maharani merasakan hatinya hancur jutaan keping. Suami yang begitu ia cintai sepenuh jiwa rupanya dengan tega telah menduakannya.
Pagi tadi sebelum suaminya berangkat ke kantor, Maharani lebih dulu izin pergi dengan alasan untuk mengecek butiknya. Tapi itu hanya alibinya. Wanita tinggi semampai itu menghentikan mobil miliknya di pintu keluar komplek perumahan, menunggu mobil suaminya muncul. Tanpa sepengetahuan suaminya, Maharani membuntuti mobil CRV keluaran terbaru itu. Berbulan-bulan ia mendapati gelagat aneh dari suaminya—Alvian Wijaya. Dan baru hari ini ia berani membuntuti Alvian untuk mencari penyebab perubahan sikap suaminya.
Berkali-kali Maharani mengelap telapak tangan pada ujung roknya. Ia gugup, ia gelisah, ia takut jika Alvian memergokinya. Ia takut suaminya marah karena ia telah lancang mengikutinya. Selama ini Maharani adalah istri penurut. Ia selalu mengikuti apapun yang di pinta Alvian. Maharani begitu mencintai Alvian, lelaki yang telah lama mengisi hari-harinya lima belas tahun lamanya.
Hatinya semakin tak menentu saat mengetahui jalan yang dilewati Alvian bukan jalan menuju kantor lelaki itu. Tapi hati kecilnya masih berusaha menepis pikiran negatif yang selama ini berputar di kepalanya.
Hingga sampai di sebuah rumah lantai dua dengan pekarangan tak begitu luas, Alvian menghentikan laju mobilnya. Maharani menatap saksama rumah yang sama sekali ia tak tahu siapa penghuninya. Ia ingin sekali turun untuk melihat apa yang sedang dilakukan Alvian di dalam sana sepagi ini. Tapi Maharani tak seberani itu, ia takut tindakannya akan membuat Alvian meradang.
Ada yang bilang firasat seorang istri memang tidak pernah meleset. Dan memang benar adanya, firasat Maharani jika Alvian memiliki hubungan dengan perempuan lain memang terbukti. Karena beberapa saat kemudian Maharani dikejutkan dengan munculnya Alvian, menggandeng seorang perempuan yang tengah hamil besar serta seorang anak balita. Mereka masuk ke dalam mobil, hendak pergi.
Tak ingin kepergok, Maharani dengan lincah melajukan mobilnya untuk memberi jarak. Beruntung, sebelumnya ia sudah mengganti plat nomor mobilnya sebelum mengikuti Alvian. Mobil Alvian bergerak ke arah kiri jalan. Tak ingin tertinggal, Maharani memutar balik mobilnya dan kembali membuntuti mobil Alvian.
Mobil memasuki jalan raya. Mobil Maharani berjarak dua mobil dari mobil Alvian. Tak bisa dipungkiri beribu pertanyaan menjejali kepalanya. Ia sungguh tak mengenal siapa perempuan dan anak yang sepagi ini dijemput Alvian.
"Dia siapamu, Mas?"
Maharani kembali dikejutkan dengan tempat yang dituju Alvian. Sebuah rumah sakit khusus Ibu dan Anak, di mana ia juga rutin melakukan terapi hormon kehamilan di sana.
Saking cintanya pada Alvian, Maharani masih berprasangka baik pada lelaki yang telah menikahinya selama sepuluh tahun lamanya itu. Dan berpacaran lima tahun lamanya. Ia masih yakin perempuan dan anak itu adalah saudara Alvian.
"Apapun yang terjadi aku harus turun, agar tahu semuanya," gumamnya mencoba menguatkan hati.
Setelah memakai masker dan mengganti pakaiannya, Maharani turun. Dengan hati tak menentu, ia menginjakkan kakinya di lantai rumah sakit. Ia menuju ruangan dokter kandungan. Perasaannya mengatakan Alvian menuju kesana. Maharani sempat kehilangan jejak Alvian karena harus berganti pakaian lebih dulu.
Benar, Alvian bersama perempuan hamil serta seorang anak balita tengah duduk di kursi menunggu giliran diperiksa dr. Andre SpOG. Mereka bertiga duduk pada kursi tunggu barisan depan, sedangkan Maharani duduk di bagian belakang. Mereka terhalang pasien-pasien lain yang juga tengah menunggu giliran.
Meski begitu, Maharani masih bisa mendengar dengan jelas, saat balita itu memanggil Alvian dengan sebutan—Ayah.
Ingin rasanya Maharani saat itu juga beranjak pergi. Tapi ia belum mendapat informasi pasti siapa perempuan dan balita yang bersama Alvian. Ia akan menanyakan langsung pada dokter Andre, ia yakin dokter langganannya itu mengetahui semuanya.
Waktu seolah merangkak lamban. Netra Maharani memanas, dadanya bergemuruh mendapati perlakuan Alvian pada perempuan di sampingnya. Berkali-kali dengan mesra Alvian mengusap perut perempuan itu.
Satu jam berlalu, akhirnya tiba Alvian memasuki ruangan dokter, setelah sebelumnya seorang perawat menyebut nama perempuan yang datang bersamanya. Susan, nama perempuan itu dan Maharani akan terus mengingatnya.
Lima belas menit berlalu dengan hati yang kian tak menentu dan keringat dingin di sekujur tubuh, Maharani tetap menunggu. Tak lama Alvian bersama Susan dan balita itu keluar dari ruangan dokter. Perlu menunggu dua pasien lagi sebelum tiba giliran Maharani.
Maharani hanya bisa menatap pilu pada Alvian dan Susan yang bergandengan tangan melangkah keluar rumah sakit.
Tiga puluh menit berlalu, tiba saatnya perawat menyebut namanya. Maharani bisa menangkap perasaan canggung pada perawat itu. Begitu pula saat ia memasuki ruangan dan duduk di hadapan dokter Andre. Dokter berumur awal empat puluh tahun itu salah tingkah dengan kedatangan Maharani yang hanya berjarak tiga puluh menit dari kedatangan Alvian.
"Selamat pagi, Bu Maharani." Dokter Andre tersenyum canggung. Membuat kecurigaan Maharani semakin bertambah.
Maharani melepas maskernya. Ia menatap lekat pada dokter Andre.
"Saya butuh bantuan dokter." Pelan Maharani bicara.
"Katakan apa yang bisa saya bantu, Bu."
Maharani mengumpulkan napas dalam-dalam lalu mengembuskannya perlahan. "Siapa perempuan yang bersama suami saya tadi? Saya yakin dokter menyembunyikan sesuatu dari saya."
Andre berusaha bersikap setenang mungkin. Ia sudah menduga suatu saat hal ini akan terjadi. Ia tidak mungkin bisa mengelak karena pasiennya itu telah melihat sendiri Alvian datang dengan perempuan lain.
"Maafkan saya Bu Maharani, saya tidak ber ...."
"Katakan, Dok! Siapa perempuan itu?" Maharani mulai tersulut emosi.
"Bu Susan ... istri Pak Alvian." Dengan berat hati, Andre mengatakan yang sebenarnya pada Maharani.
"Lalu balita itu?"
"Balita itu putri Pak Alvian."
Seketika, bulir bening mengalir dari sepasang netra Maharani tanpa bisa ia menahannya. Hatinya begitu hancur, berkeping.
"Bu ... maafkan saya." Andre menatap iba pada Maharani. Pria itu benar-benar merasa bersalah, karena telah menyembunyikan fakta jika Alvian memiliki istri kedua. Tapi ia juga tidak bisa berbuat banyak, karena memang tugasnya hanya memeriksa pasien, bukan untuk mencampuri urusan pribadi para pasiennya.
Maharani bergeming. Setelah mengusap kasar air matanya, ia keluar dari ruangan dokter Andre. Sementara itu dokter Andre dan seorang perawat yang berada di ruangan tersebut hanya bisa menatap kepergian Maharani prihatin.
Bersambung
KAMU SEDANG MEMBACA
Air Mata Maharani ( TAMAT )
Ficção GeralSebuah kisah dari seorang wanita berparas ayu bernama Maharani yang dikhianati suaminya--Alvian Wijaya 💔 Karena kesalahan mereka di masa lalu, yang menyebabkan Maharani susah mengandung. 170119