💔💔💔
Cinta yang terlalu kokoh membuat Maharani melupakan lukanya. Ia masih setia mendampingi Alvian. Menyiapkan segala keperluannya, memenuhi kebutuhan batinnya tanpa membahas tentang keluarga baru Alvian.
Pagi ini seperti hari-hari sebelumnya, dua minggu setelah ia tahu tentang istri kedua Alvian. Maharani sibuk di dapur dibantu oleh Mbok Minah menyiapkan sarapan.
"Bu, maaf kalau saya lancang. Apa Ibu sudah tanya langsung pada Bapak?" Mbok Minah bertanya dengan lirih. Takut-takut kalau Alvian mendengarnya.
Maharani menghentikan aktivitasnya mengiris cabai. "Belum, Mbok. Aku takut kami akan bertengkar kalau aku menanyakannya."
"Jadi ibu rela dimadu?"
Maharani mengembuskan napas pelan, "Gak tau Mbok. Aku bingung harus gimana. Aku terlalu sayang sama Mas Al," ucapnya pasrah.
Mbok Minah dan Maharani menoleh saat mendengar suara langkah kaki Alvian dengan tergesa menuruni tangga.
Segera Maharani melepas celemek dan mengejar Alvian yang menuju pintu depan.
"Mas tunggu! Mau kemana? Kok buru-buru."
Alvian menghentikan langkahnya. Ragu ia membalikkan tubuhnya menghadap Maharani.
"Aku berangkat dulu ya. Ada meeting mendadak," kata Alvian tanpa berani menatap Maharani.
"Sepagi ini, Mas?" Maharani tahu kalau Alvian tengah berbohong.
"Iya. Eum kamu hati-hati ya ke butiknya." Dikecupnya kening Maharani, "Love you." Pandangan mereka bertemu sekian detik.
Lalu dengan tergesa Alvian pergi meninggalkan Maharani yang berdiri termangu tanpa bisa menahannya.
Lagi, Maharani menatap punggung tegap itu dengan hati teriris. Instingnya mengatakan jika Alvian tidak pergi meeting melainkan untuk menemui Susan.
"Non." Mbok Minah sudah berdiri di sampingnya dengan tatapan bingung.
"Mbok, aku harus pergi." Tanpa menunggu jawaban Mbok Minah, Maharani berlari menaiki tangga.
Tak lama ia turun dengan tas perginya berserta kunci mobil.
"Aku pergi dulu, Mbok," pamitnya.
Mobil meluncur di jalanan yang sudah mulai ramai. Masih pukul 6 pagi, Maharani tak percaya kalau Alvian akan menghadiri meeting. Dengan keyakinan penuh mobil ia arahkan ke Jl. Perintis menuju rumah seseorang.
Din din din
Berulang kali Maharani menekan klakson, ia sedikit kehilangan kesabaran karena mobil-mobil yang mulai mengular.
"Masih pagi udah macet begini," gerutunya.
Mau tak mau meski melaju pelan, Maharani tetap bertahan di mobil. Ia enggan menaikki ojeg motor, meski dengan menaikkinya akan mempersingkat waktu menuju tempat tujuan.
Satu jam perjalanan, Maharani akhirnya sampai di sebuah rumah yang ditujunya. Mobil berhenti di seberang jalan sejajar dengan gerbang yang tertutup namun masih bisa terlihat suasana luar rumah tersebut.
Maharani turun untuk memastikan sesuatu karena mobil Alvian tak terlihat di sana. Dan benar, gerbang bercat putih itu terkunci dari luar menandakan sang penghuni rumah tengah pergi.
Dengan langkah lebar, Maharani kembali ke mobil, ia tahu akan menuju ke mana setelah ini.
Mobil meluncur ditemani cahaya mentari yang mulai berpendar.
Di tengah perjalanan ia mencoba menghubungi suaminya. Beberapa kali hanya terdengar suara bunyi khas telepon tak terjawab.
Jam sudah menunjukkan pukul 7 pagi, jalanan semakin ramai. Lagi-lagi ia harus berhadapan dengan kemacetan. Sejujurnya Maharani tidak begitu suka menyetir pada saat jam sibuk begini. Meski setiap hari ia mengunjungi butik, ia memilih berangkat sedikit siang setelah jalanan sedikit lengang.
KAMU SEDANG MEMBACA
Air Mata Maharani ( TAMAT )
General FictionSebuah kisah dari seorang wanita berparas ayu bernama Maharani yang dikhianati suaminya--Alvian Wijaya 💔 Karena kesalahan mereka di masa lalu, yang menyebabkan Maharani susah mengandung. 170119