4. Cinta yang terbagi

25.2K 783 33
                                    


Pelan Maharani membuka mata.

Bias cahaya lampu membuatnya menyipitkan sepasang mata sayunya. Ia mendapati seseorang tertidur di samping kirinya dengan posisi duduk. Seseorang yang amat ia cintai. Alvian.

Maharani mengedarkan pandangan ke penjuru ruangan. Ia mengingat kembali kejadian hari ini hingga bisa sampai di ruangan serba putih dengan aroma khas. Terakhir ia ingat sedang berada di butik lalu merasa sakit di kepala dan perut. Dan semua tiba-tiba gelap. Ia merutuki kecerobohannya yang lupa mengisi perut.

Maharani duduk. Diusapnya lembut kepala Alvian yang bertumpu di ranjang.

Merasa kepalanya disentuh, Alvian terbangun dari tidur. Ia tersenyum mendapati Maharani telah siuman.

"Hei, sudah enakkan badannya?" Alvian duduk di bibir ranjang. Tangannya menggenggam erat jemari Maharani.

"Maaf, Mas. Aku merepotkanmu." Maharani senang Alvian masih perduli padanya, padahal ia tahu beberapa jam lalu Alvian tengah menemani Susan yang baru saja melahirkan.

"Tapi maaf aku gak bisa lama. Di kantor sedang banyak sekali kerjaan," ucap Alvian lirih. Sejujurnya ia ingin menemani Maharani tapi di sisi lain Susan juga membutuhkannya.

Senyum yang tadi terkembang di wajah Maharani mendadak sirna.

"Hei jangan sedih, aku akan pulang cepat. Aku udah minta Mbok Minah ke sini, buat nemenin kamu, sementara aku pergi."

Maharani tak menjawab. Ingin rasanya ia menumpahkan amarahnya, tapi bibirnya selalu terasa kaku saat menatap wajah teduh Alvian. Ia pun belum sanggup menerima jika pada akhirnya Alvian lebih memilih Susan ketimbang dirinya.

"Hei, Sayang aku akan pulang cepat." Alvian mengecup pipi Maharani yang telah basah karena lelehan air mata.

"Pergilah Mas, kalau memang urusanmu itu lebih penting dari aku."

"Jangan bicara seperti itu, kamu tetap yang utama dan pertama, apa pun yang terjadi."

Maharani menatap lekat manik coklat Alvian. Berharap ia menemukan cinta Alvian yang dulu hanya untuknya seorang. Tak ada cinta itu telah terbagi.

"Aku pergi ya, nanti dihabiskan buburnya." Alvian mengecup kening Maharani lalu melangkah pergi.

Maharani termangu merenungi jalan hidupnya. Andai waktu itu ia tidak menggugurkan kandungan, ia mungkin sudah memiliki anak dan Alvian tidak akan mendua.

Ya, Maharani muda sempat mengandung. Ia patuh menuruti permintaan keluarga Alvian untuk menggugurkan kandungan. Karena jika tidak, orang tua Alvian tidak akan merestui pernikahan mereka. Mereka diijinkan menikah asalkan menunda memiliki momongan. Cinta buta Maharani pada Alvian membuat Maharani rela melakukan apa pun meski nyawanya terancam.

Sebelas tahu lalu di sebuah rumah sakit di Jakarta, Maharani menggugurkan kandungan. Selama seminggu Maharani dirawat karena mengalami pendarahan hebat. Tak hanya itu, Maharani muda yang tidak mengetahui jika ada peradangan di organ reproduksinya, terlambat mendapat pertolongan. Hal itu salah satu pemicu sulitnya ia memiliki anak saat ini.

"Aaaaarrrggggghhhh!!!" Maharani melempar bantal dan selimut ke sembarang. Ia pun melepas paksa selang infus ditangan. Ia turun dari ranjang melangkah menuju pintu hendak menyusul Alvian.

Tapi belum sempat pintu terbuka, tubuhnya kembali luruh ke lantai. Maharani kembali pingsan.

Dokter Andre yang berniat mengunjungi Maharani terkejut melihat kondisi Maharani yang tergeletak di lantai dengan darah dipergelangan tangan.

"Bu!" Andre terlihat begitu cemas.

Andre tadi tidak sengaja melihat Alvian yang tergesa memasuki rumah sakit. Karena itu Andre mengikuti Alvian hingga ke ruangan di mana Maharani dirawat. Selesai praktek ia sengaja berkunjung untuk melihat keadaan Maharani.

Air Mata Maharani ( TAMAT )Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang