[ Janeeta ]
Menunggu itu tidak enak. Siapapun pasti setuju denganku. Menunggu itu membosankan. Siapapun pasti setuju denganku. Dan menunggu selama setengah jam itu menyebalkan. Siapapun pasti sangat setuju denganku.
Jika dia sudah sampai, aku akan segera menjitak kepalanya. Atau menambahkan sedikit jurus ke perutnya biar dia muntah darah. Walaupun ini tempat umum, aku tidak akan takut melakukannya. Karena hal tersebut pantas ia terima.
"Maaf, Ta. Gue kejebak macet. Jalanalternatifyangbiasaudahditutupdannggakbisa. Lo udah lama?"
Dia berbicara seperti kereta api buatan Jepang. Sangat cepat, membuatku tidak mengerti. Kalau boleh, aku akan memberikan bogeman mentah ke wajahnya. Arden Wicaksono, dia yang mengajakku dan dia pula yang terlambat. Sungguh laki-laki yang menyebalkan.
"Iya," jawabku singkat.
"Maaf banget, loh."
Aku beranjak dari tempat dudukku. Kemudian berjalan meninggalkannya yang baru saja duduk. Diam-diam aku terkekeh. Senang sekali menjahilinya. Membuat orang duduk sebentar bukan tindakan kriminal. Buktinya aku tidak pernah ditangkap pihak berwajib. Oke, abaikan saja.
"Kebiasaan lo."
Kepalaku dijitaknya pelan, membuat aku meringis kesakitan. Dengan semangat kubalas perbuatannya dengan mencubit lengannya yang menggemaskan. Bukannya kesakitan, Arden malah tertawa. Meremehkan sekali. Tunggu saja cubitan hebatku menyentuh kulitmu, wahai Arden.
"Awas aja lo. Gue bakal kasih yang lebih dari cubitan."
Ia tertawa kembali. Sebenarnya, aku suka saat Arden tertawa. Ada secuil rasa aneh ketika ia tertawa untukku. Manis-manis gitu. Tapi tertawaannya tidak membuat hatiku menjadi miliknya. Sudah kutanam dalam hati ini bahwa aku tidak akan menyukai dia.
Tujuan kami menuju sebuah mall di pusat kota. Bukan seperti cowok kebanyakan yang mengajak ke bioskop, Arden mengajakku untuk bermain di timezone. Katanya ia tidak ada teman untuk pergi, jadi mengajakku. Kalau Jahran ada, dia akan ikut denganku. Tidak akan membiarkan cowok ini berduaan saja denganku.
Sebelum bermain, kami memasuki toko buku dulu. Bukan aku yang meminta, tapi Arden sendiri yang berinisiatif pergi ke sana. Mungkin dia mau beli buku. Anak kelas unggulan memang begitu. Bukan seperti aku, membaca buku dari sekolah saja malas.
Ponselku berdering tanda panggilan masuk. Panggilan dari Reana. Oh, tidak. Aku lupa kalau aku ada janji pergi membeli komik dengannya.
Karena tidak mau mendengar gadis itu mengomel, aku menolak panggilannya. Kemudian mengiriminya sebuah pesan untuk segera menyusulku di sini. Sebelum mendapat balasan menohok darinya, aku langsung memasukkan ponsel kembali ke dalam tas.
"Ngapain lo diem di situ? Ngemis?" Arden memang minta dikasih jurus.
"Reana mau gabung," jelasku kepadanya dengan nada ketus.
Dia berdecak pinggang. "Gue kan, maunya kita berdua aja."
Aku tidak menggubrisnya. Kakiku melangkah menuju rak yang di mana tersusun ratusan komik. Arden mengikutiku, seperti anak ayam yang takut kehilangan induknya. Padahal tujuan awalnya ke sini adalah untuk membeli buku pelajaran, yang jelas jauh raknya dari rak komik.
"Lo mau beli buku apa? Ini rak komik." Aku mengusirnya secara sopan. Bagaimanapun aku harus sopan hingga hari ini berakhir. Kalau tidak, ia tidak akan membayari koin timezone untukku.

KAMU SEDANG MEMBACA
HARI JUMAT [PROSES TERBIT]
Teen Fiction"Aku tidak akan pernah menyukainya." Janeeta begitu membenci laki-laki bernama Arden. Cowok yang selalu berusaha mendeketinya kapan dan di manapun itu. Arden bahkan pernah menembaknya di sekolah, tapi Janeeta menolaknya. "Gue suka dia." Berbanding t...