JUMAT #1

36 5 2
                                    

[ Jahran ]

Taman Bunga, pukul 4 lewat 8 menit tertera pada jam digital di pergelangan tangan kiri. Duduk di kursi besi yang sudah karatan, melihat orang berlalu lalang bersama pasangan. Pakai baju olahraga dengan sepatu lari tapi dipakai buat gaya saja, pasang earphone di telinga biar berasa keren. Aku yakin kalau mereka tidak memutar lagu, cuma buat gaya juga. Aku jelas tahu kalau mereka cuma mau duduk-duduk modus bersama pacar di sini.

Lupakan mengenai itu. Jika saja Doraemon itu benar-benar nyata dan ada di sini, aku akan menculiknya. Lebih tepatnya mencuri kantong ajaib dan mengelurkan mesin waktu. Aku ingin kembali ke masa lalu, di mana aku bisa lari dari situasi tidak menyenangkan ini. Menunggu seseorang—yang hari ini menjadi pertama kalinya kami bertemu.

Terdiam di taman sembari menunggu, membuat kecemasanku membumbung ke awan. Berlebihan memang, tapi memang begini. Sungguh, aku tidak ingin bertemu dengannya. Gugup? Tidak, hanya cemas. Kecemasan ini juga semakin membesar dan mulai mengalahkan keberanianku.

“Jahran?” Tiba-tiba suara lembut perempuan membuatku menoleh ke asal suara.

Aku terbelak kaget, dia datang. Aku harus apa? Berpura-pura aku bukan Jahran yang ia maksud? Atau lari secepat cheetah dan bersembunyi di mini market? Siapapun bantu aku!!!

“Jahran Rajendra Conary?” tanyanya dengan senyuman yang setia di wajah itu.

“Huh?” Aku menegakkan badanku, mencoba menatapnya meski kecemasanku makin memuncak.

“Hehehe...” Ia terkekeh. “Kamu Jahran, saya begitu mengingat wajah kamu.”

Entah mengapa tiba-tiba bibirku bergerak spontan menyuruhnya untuk duduk di sebelahku. Dengan senang hati ia duduk manis, cukup dekat pula bokongnya dengan bokongku yang tidak seberapa ini. Bulu kudukku merinding menerima keadaan.

Ia sama seperti pada foto yang dikirim tahun lalu, beberapa bulan yang lalu, dan minggu yang lalu. Tinggi, porsi tubuh yang ideal, kulit putih bersih, hidung mancung, mata bulat berwarna cokelat, dan rambut cokelat yang panjang. Jangan lupakan senyuman khas miliknya yang lebar itu. Kali ini ia begitu manis daripada di foto, mengenakan skinny jeans putih yang dipadukan dengan blus longgar warna hitam polos begitu cocok di badannya. Kalau Eta yang mengenakannya, pasti mirip gembel.

Namanya Farah, Farah Magee. Gadis cantik keturunan 3 darah yang kukenal dari media sosial dan selalu menantikan hari agar kami bertemu. Seorang gadis periang yang punya suara emas ketika bernyanyi, lagu dari bangsa kakeknya—Irlandia menjadi kesukaannya, tipe-tipe cewek idaman. Cukup membuatku mencungap ketika tahu ia belum pernah berpacaran, siapa sangka perempuan yang banyak dikejar-kejar para lelaki ini ternyata belum pernah menjalin hubungan spesial.

“Saya bawakan sesuatu buat kamu,” ujarnya.

Sebuah bingkisan berwarna biru donker diserahkannya kepadaku, dengan sungkan aku menerimanya. Ingin menolak, tapi tidak tega karena wajahnya nampak tidak menerima penolakan. Siapa tahu ini oleh-oleh dari Pakistan. Lumayan buat dijual kembali.

Tidak, aku bercanda.

Bingkisannya terasa berat, mungkin isinya batu. “Terima kasih.”

Senyumnya mengembang mendengar ucapan terima kasihku. Aku sungguh tidak tega melakukan kebohongan kepada gadis manis yang berbaik hati ini. Tuhan, maafkan aku telah berbuat tidak terpuji kepada ciptaan-Mu. Aku memang makhluk yang penuh dosa.

“Itu sebuah kotak musik, Ayah membelikannya lebih. Seperti yang saya tahu, kamu suka mengoleksinya, jadi saya berikan untukmu,” tuturnya. “Saya harap kamu suka.”

Mulia sekali hatinya, cocok daftar Miss World. Sudah cantik, baik, pintar, kurang apa dia? Cuma kurang pacar saja. Aku harus melakukan apa untuk membalas semua kebaikannya?
“Kamu... mau es krim?” tanyaku dengan lembut.

Kepalanya mengangguk semangat, dengan senyum pula. Aku khawatir benda vital itu terlepas dari tempatnya karena terlalu semangat mengangguk. Tapi ia tetap menggemaskan bertingkah seperti itu.

HARI JUMAT [PROSES TERBIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang