BAB 0.9

58 20 13
                                    

BAB 0.9 : Tentang Tangis

"Nangis bukan berarti cengeng. Karena terkadang, nangis juga lo butuhkan ketika sudah benar-benar enggak sanggup untuk pura-pura kuat."

Janeta merebahkan tubuhnya di atas kasur

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Janeta merebahkan tubuhnya di atas kasur. Menatap langit-langit kamar yang bersih dari sarang laba-laba, lalu menghela napas pelan.

Suara motor Jeno terdengar menjauh tak lama kemudian. Laki-laki itu akan mengantar Gerlie pulang, selepas Clara menyuruhnya untuk makan sebentar.

Janeta menoleh ke arah pintu balkon yang masih terbuka. Gorden abu-abu yang menjuntai hingga lantai, melambai-lambai menari bersama angin sore. Langit sudah tak secerah tadi, mengingat saat ini pukul lima lewat lima belas menit.

Janeta beranjak, melangkahkan kaki menuju balkon. Duduk di sofa kecil yang dibawanya ke luar tadi.

Anak-anak yang berlari-lari di jalanan komplek sudah tak ada, juga dengan ibu-ibu yang sedang mengobrol ria. Mungkin, mereka sudah kembali ke rumah masing-masing.

Kali ini Janeta menyandarkan tubuhnya di sandaran sofa, menatap kosong langit biru serta burung-burung yang berkicau melintas di depannya. Raganya memang berada di balkon sambil duduk melamun, tapi justru jiwanya seolah berada di beberapa jam yang lalu. Tepatnya, ketika ia dan Revon hendak pergi ke warung.

"Iya, iya. Kalau misalkan iya, lo cemburu ya, Kak?"

Perkataan Revon yang itu tiba-tiba melintas begitu saja.

Cemburu? Entahlah, Janeta tak tahu. Tapi yang pasti, Janeta selalu takut untuk kehilangan Jeno. Lagi. Janeta tak mau, semuanya kembali seperti dulu. Dia terlalu takut untuk membuat sebuah luka baru yang muncul. Cukup sekali saja untuk selamanya.

Mungkin.

"Sahabatan antara cewek sama cowok itu gak ada, Kak. Walaupun orang-orang bilang kalian itu gak pernah kejebak friendzone, tapi gue yakin salah satu dari kalian pernah ada menyimpan rasa."

Lagi. Perkataan Revon yang lain kembali menghampiri.

"Friendzone? Gue sama Jeno gak pernah ngalamin. Jeno gak mungkin suka sama gue, dan gue juga gak pernah suka sama dia," gumam Janeta pelan.

Tapi lo nyaman, 'kan?

Sebuah pertanyaan yang melintas begitu saja di pikiran Janeta.

Nyaman? Jelas, Janeta merasa nyaman kepada Jeno. Tapi, ia cepat-cepat menepis kalau rasa nyaman itu terjadi karena mereka berdua memang bersahabat sejak kecil. Karena, Jeno sendiri sudah Janeta anggap sebagai kakak.

"Gak ada yang tahu hati setiap orang, Kak. Di mulut mereka bilang 'enggak', tapi sebenarnya hati mereka berkata lain. Kalau kata guru gue, 'Dalamnya laut dapat diduga, dalamnya hati siapa yang tahu'."

Blood, Sweat and TearsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang