AUDRA
Namaku Audra Sullivan. Aku tidak ingat jelas tanggal lahirku tapi aku yakin itu terletak di bulan Juni tahun 1995. Dan hanya itu yang kuingat.
Tiga tahun lalu aku membuka mataku di rumah sakit, terbangun dari koma selama 1 bulan. Dokter berkata aku salah satu korban kecelakaan pesawat yang selamat. Tapi hanya aku yang dibawa ke rumah sakit itu, oleh seorang pria bernama Rayden Alasdair. Pria itu juga yang telah melunasi biaya pengobatanku. Korban-korban lainnya dibawa tim penyelamat ke rumah sakit negeri. Aku tak tahu penyebabnya.
Tak pernah ada yang mendatangiku ke rumah sakit. Aku sendirian, hanya berbekal ingatan nama dan bulan lahirku. Oh, dan nama malaikat penolongku. Rayden.
Keluar dari rumah sakit, aku bertemu seorang wanita tua. Namanya West. Ia menawariku tempat tinggal. Aku jujur, aku bilang padanya aku bahkan tidak mengenal diriku sendiri dan aku tidak punya uang. Tapi West berkata aku bisa mencicil biaya sewanya. West juga yang membantuku mencari pekerjaan ke sana kemari.
Satu tahun aku bekerja di sebuah toko roti di dekat pusat kota. Pemilik toko roti itu adalah seorang pria tua yang ramah dan humoris. Ia memiliki cucu yang seumuran denganku. Namanya Billy.
Billy baru saja lulus kuliah S-1-nya di UCL. Pemuda pintar itu sedang melanjutkan pendidikan S-2-nya berkat beasiswa. Tapi pada akhir pekan ia selalu membantu sang kakek di toko roti. Hal itu yang membuatku berteman dekat dengannya.
Jujur saja aku pernah menyimpan perasaan pada Billy. Tapi aku tak pernah mengungkapkannya karena Billy sendiri saat itu memiliki kekasih bernama Delilah. Lagipula aku tidak ingin merusak pertemanan kami.
Dan semuanya berubah saat aku melihat wajah asli malaikat penolongku. Rayden Alasdair.
"Apa yang sedang kau baca, Bill?" tanyaku pada Billy yang duduk di balik etalase roti.
Billy mengenakan kemeja flanel dan celemek khas toko roti Paman Liam—begitu aku memanggil kakek Billy. Ia tampak sedang serius membaca sebuah majalah tipis di tangannya.
"Hanya seputar bisnis. Apa kau tahu GoldRush Holdings? Mereka baru saja memperluas bisnis mereka ke Amerika sebulan lalu dan kini sudah menjadi top brand di negeri Paman Sam itu," Billy berdecak kagum.
"GoldRush Holdings?"
"Iya, perusahaan di bidang properti itu. Semenjak CEO mereka berganti empat tahun lalu, mereka semakin berjaya. Ckck, Rayden Alasdair memang hebat. dewa bisnis!" Sekali lagi Billy berdecak kagum tanpa mengalihkan pandangannya dari majalah itu.
"R– Rayden Alasdair?"
"Astaga, Audra, kau ini kenapa sih? Telingamu sedang bermasalah ya— hei, aku masih membacanya!" Billy memprotes saat aku mengambil paksa majalahnya.
Mataku terpana di halaman yang sedang Billy baca.
Batinku bersorak. Mataku berbinar. Tubuhku membeku. Astaga, aku benar-benar jatuh cinta pada pria ini meski aku hanya melihatnya dari secarik kertas majalah!
"Ya Tuhan, malaikatku tampan sekali!"
"Hah?" Billy menaikkan sebelah alisnya dan merebut kembali majalahnya. "Jangan berkhayal terlalu tinggi, Audra. Dia itu pembisnis raksasa, mana mungkin orang seperti kita bisa menyukainya."
"Aku hanya mengaguminya. Kau ini kenapa sih, merusak suasana saja," kesalku dan meninggalkan Billy.
Billy bergumam pelan tapi aku masih bisa mendengarnya berkata, "Aku tidak suka kau mengagumi orang lain."
Ck, pria itu kenapa sih?!
---
Semenjak itu aku mencari tahu tentang Rayden. Mulai dari tanggal lahirnya, alamat, hingga ukuran pakaian dalam. Bagaimana aku bisa tahu? Mudah saja. Yang perlu dilakukan hanya membuntutinya ke department store dan mengambil data belanjaannya.
Aku juga mengetahui Rayden yang ternyata lebih tua dariku 5 tahun itu bekerja di perusahaan kakeknya sendiri tanpa nepotisme. Ia murni mendudukki posisi direktur utama karena tangga karirnya yang dimulai dari pegawai divisi biasa hingga memuncak menjadi jabatan atas. Semua ia raih hanya dalam kurun waktu 5 tahun.
Di usianya yang ke-23 saja Rayden telah menyelesaikan pendidikan S-2-nya di Oxford. Benar-benar idaman!
Semenjak itu aku melamar pekerjaan di perusahaan besar GoldRush. Tapi karena aku tidak memiliki ijazah—entah tidak punya atau aku lupa—akhirnya mereka menempatkanku di posisi office girl.
Beruntungnya, aku ditugaskan membersihkan lantai 25. Yaitu lantai di mana ruangan direktur utama berada. Ya, aku bisa bertemu malaikatku setiap hari! Bagaimana aku bisa seberuntung ini?!
Jam kerja para pegawai dimulai dari pukul 7.50 dan berhenti di pukul 4 sore. Lebih dari itu dianggap lembur. Tapi aku rela setiap hari pulang pukul 7, berpura-pura mengepel lantai dan mengelap jendela hanya untuk menunggu sang bos keluar pintu ruangannya dan memberinya senyuman—meski ia tak pernah membalasnya.
Hingga suatu saat aku tersenyum padanya dan ia tak melewatiku begitu saja.
Ia menghentikan langkahnya, menatapku beberapa detik dan mengernyitkan dahinya.
"Kenapa kau selalu melembur? Padahal pekerjaanmu tidak berat, dan semua sudah bersih," katanya.
Aku dengan susah payah berusaha menyembunyikan senyuman maluku.
"Eh.. a– aku.."
"Rapikan barang-barangmu. Aku akan mengantarmu pulang."
Dan di detik itu aku semakin jatuh cinta pada Rayden.
Rayden membawaku ke sebuah restoran masakan Jepang. Awalnya keadaan di antara kami sangat canggung. Tapi kepribadiannya yang ternyata ramah membuatku merasa terbuka padanya.
"Siapa namamu?" tanyanya.
"A– Audra. Audra Sullivan."
Ia menaikkan sebelah alisnya, membuat jantungku berdegup semakin kencang.
"Tampaknya nama itu tidak asing di telingaku," katanya.
"Aku.. aku yang kau tolong di kecelakaan itu," jawabku.
Rayden menunjukkan ekspresi puasnya. "Ah, ya, aku ingat. Jadi bagaimana keadaanmu?"
"Sudah jauh lebih baik sekarang. Terima kasih, Pak."
"Panggil saja aku Rayden. Kita sedang tidak bekerja sekarang."
Aku tersenyum sambil mengangguk malu.
Dan begitulah kami dekat. Sampai kejadian itu merubah segalanya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Her Dream Man
Short StoryNamanya Audra Sullivan, gadis malang yang kehilangan ingatannya tiga tahun lalu di sebuah kecelakaan pesawat. Sejak itu ia bekerja keras menghidupi dirinya sendiri di tengah kota London. Hidupnya yang terasa berat berubah begitu saja saat ia bertemu...