Minjoo keheranan pagi ini, biasanya orang-orang di sekolahnya hanya menatap heran tapi saat ini penghuni sekolah yang ia lewati rasa-rasanya memandangnya dengan tatapan benci, dia bahkan tidak tahu apa salahnya.
“Lihatlah dia dengan tampang tak berdosanya.”
“Cih! Dasar aku semakin membencinya!”
Keheranan Minjoo semakin bertambah saat Mingyu duduk di sampingnya dengan lebam di pipi kanannya. “Pipimu kenapa?” Tanya Minjoo bahkan sebelum Mingyu duduk.
“Seharusnya aku yang bertanya padamu Minjoo-ya, kau baik-baik saja?”
“Kau bisa melihatku, aku baik-baik saja. Sekarang ceritakan apa yang terjadi padamu.”
Mingyu menghela nafas, sebenarnya ia ragu, sedikit banyak ia juga menyalahkan dirinya sendiri karena Minjoo pingsan. “Kemarin ayahmu menjemput setelah Lee seonsaengnim menelepon, lalu ayahmu mengamuk dan meninjuku.”
Minjoo terkejut. “Astaga maafkan aku Mingyu-ya,”
“Sudahlah bukan salahmu, maafkan aku yang mengajakmu bermain voli.”
Minjoo tersenyum manis. “Tidak, aku seharusnya berterima kasih.”
“Tanganmu tidak apa-apa?” Mingyu melirik ke arah pergelangan tangan Minjoo yang dibalut perban.
Minjoo mengangguk. “Sudah biasa terjadi bahkan saat aku tertusuk jarum pun ayah membawaku ke rumah sakit. Ayahku memang lebay.”
“Apakah semua orang albino seperti ini? Bukan maksudku menyinggungmu, aku hanya penasaran.”
“Yah kira-kira, hanya saja aku penyakitan jadi aku terlalu lemah,” jelas Minjoo. “Orang albino sepertiku memang sensitif dengan cahaya makanya aku berlindung di bawah pohon kemarin, untuk mimisan dan tanganku yang berdarah itu karena kulitku tipis dan terlalu banyak terpapar matahari.”
“Oh astaga maafkan aku, seharusnya aku tidak mengajakmu,” Mingyu semakin merasa bersalah.
Minjoo tersenyum tipis. “Tidak apa-apa, bukan sepenuhnya salahmu. Aku juga yang menyetujui ajakanmu, jadi itu juga salahku. Omong-omong terima kasih karena sudah memenuhi daftar keinginanku nomor tiga.”
Mingyu terkekeh. “Untuk apa kau memiliki daftar seperti itu sih? Tapi sama-sama. Kalau boleh tahu yang pertama dan kedua apa?”
“Bersekolah dan memiliki teman,” tukas Minjoo.
“Kau sungguh-sungguh belum pernah memiliki teman ataupun bersekolah?”
Minjoo mengangguk. “Ayahku tidak memperbolehkanku sekolah, padahal aku tidak apa-apa. Aku hanya tidak boleh terkena sinar matahari terlalu lama dan kelelahan.”
“Ehem! Kim Mingyu dan Park Minjoo sudahi obrolan kalian, kelas akan segera dimulai,” Minjoo dan Mingyu terkekeh mendengar tuturan Kwon seonsaengnim dan kebodohan mereka saat tak menyadari guru matematikanya sudah masuk ke dalam kelas.
“Hei aku akan mengenalkanmu pada teman-temanku bagaimana?” Tawar Mingyu yang masih sibuk mencatat apa yang ditulis di papan tulis.
“Hm? Gengmu?”
“Kau tahu?”
“Lisa yang memberitahuku, baiklah tunggu sebentar lagi aku hampir selesai.”
Minjoo, Mingyu, dan Lisa menuju kantin begitu bel berbunyi. Dengan hebohnya Mingyu bercerita soal Seokmin dan Jungkook, Minjoo hanya terkekeh saat Lisa mendebat apa yang dikatakan Mingyu tidak benar.
“Gyu!” panggil Seokmin, bahkan suaranya masih lebih lantang daripada teriakan fangirl yang bertemu oppanya.
“Kecilkan suaramu Lee Seokmin! Kau berisik!” Jeon Jungkook yang tampan menutup telinganya yang bisa saja tuli karena selalu berada di sisi Lee Seokmin, si speaker berjalan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Seventeen As.....
FanfictionShort stories dan imagine tentang grup kpop, Seventeen. Baca aja sapa tau baper