After

235 16 6
                                    

Jeon Wonwoo tertunduk, tangannya menggenggam erat kertas putih yang sempat ia baca setibanya ia di rumah sahabatnya. Lelaki tampan itu berdiri di depan nisan yang warnanya tak lagi segar, pembaringan terakhir gadis yang ia cintai. Perlahan air mata menetes seiring dengan umpatannya yang berkali-kali keluar. Ditatapnya sebuah pigura dengan foto yang mulai usang berisi gadis cantik yang tengah tersenyum lebar. Ia tak mengira jika hari itu menjadi hari terakhir mereka bersama.

***

“Wonwoo-ya,” suara lembut itu menyapa telinga Wonwoo yang tengah membaca buku. Gadis pucat itu tersenyum lebar.

“Hm?” tanpa repot-repot menoleh Wonwoo menjawab seadanya.

Gadis itu mengambil alih bukunya. “Kau benar-benar akan berangkat lusa?”

Wonwoo mengangguk lemas. “Maaf, aku ingin tetap tinggal. Kata kepala tata usaha di sana aku harus segera berangkat, paling lambat lusa. Aku sebenarnya juga ingin menemanimu.”

Gadis itu menghela nafasnya. “Ya sudah, tak apa. Toh kita akan bertemu lagi.”

Keesokan paginya seperti biasa Wonwoo pergi ke rumah sakit untuk mengunjungi sahabatnya, saat Woonwoo tiba gadis cantik itu tengah bermain game. Beberapa kali gaids itu memaki karena jaringan internet yang tidak begitu baik karena di luar sedang hujan.

“Yoonji-ya,” panggil Wonwoo.

Gadis itu tidak menoleh maupun menjawab, Yoonji masih saja fokus pada gamenya. “Min Yoonji,” panggil Wonwoo sekali lagi.

Aish kau mengganggu saja, kau datang disaat yang tidak tepat. Aku hampir saja menghabisi hunter itu,” omel Yoonji yang kesal karena harus menjeda game nya akibat dari Wonwoo yang mengambil ponselnya secara paksa.

“Hei kau harusnya menghabiskan waktu denganku. Aku akan berangkat besok, dan kau juga akan dioperasi.”

Yoonji melipat lengannya di depan dada, merasa kesal. “Cih! Kau berkata begitu seolah kita tidak akan bertemu lagi.”

Wonwoo menghela napas menghadapi gadis yang begitu keras kepala. “Tapi setibanya aku di Amerika aku akan sibuk Yoonji-ya, aku tidak yakin bisa menghubungimu.”

“Iya-iya pak dokter, kau cerewet sekali sih. Mentang-mentang mahasiswa Harvard. Sombong sekali,” Yoonji masih mengalihkan pandangannya, tanda ia masih ngambek.

“Aku membawakanmu puding cokelat dari toko Bittersweet.”

Yoonji langsung menoleh, dan merampas paper bag berlogo yang dibawa Wonwoo. Gadis itu menyuapkan puding cokelat kesukaannya dengan rakus. Wonwoo hanya bisa geleng-geleng kepala melihat sahabat gadisnya yang tak ada gadis-gadisnya sama sekali.

Yoonji memiting leher Wonwoo. “Wajahmu tidak usah sok sedih begitu! Aneh!” Lihat kan? Bahkan tenaga gadis yang terbaring lama di rumah sakit lebih besar daripada tenaga Wonwoo eh ataukah Wonwoo yang terlalu lemah?

“Bagaimana aku tidak sedih? Kita tidak akan bertemu dalam waktu yang cukup lama. Kau tahu kan jika aku dibiayai hingga mendapat gelar spesialis? Itu berati aku berada di sana mungkin paling cepat sepuluh tahun, aku tidak yakin bisa pulang ke Korea tiap liburan semester. Aku tidak memiliki alasan lain selain kau untuk berada di sini,” jelas Wonwoo setelah Yoonji melepaskannya.

Wonwoo memang sudah tidak mempunyai orang tua lagi, terima kasih berkar keenceran otaknya lelaki itu berhasil mendapat beasiswa dari pemerintah untuk kuliah di Harvard hingga ia mendapat gelar dokter spesialis.

Yoonji mencubit pipi tirus Wonwoo. “Tenanglah, sekarang ini kita bahkan bisa saling melihat walau terbelah benua. Tidak usah khawatir seperti itu.”

Seventeen As.....Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang