Sequel: Warna Hujan

131 10 10
                                    

Aku merapatkan selimutku, masih memperhatikan air yang turun di luar melalui jendela kamar. Dingin. Ini adalah salah satu alasan aku membenci hujan.

"Hei kau tak apa?" Tanya Hoseok begitu masuk ke kamarku. "Itu tadi siapa?" Tanyanya lagi.

"Kau tidak perlu tahu."

Hoseok menghela nafas. "Bagaimana aku tidak perlu tahu saat kau tiba-tiba dipeluk di pinggir jalan? Kalian tidak sedang syutinh drama kan? Aku tidak mengganggu kan?"

Aku menghela nafas, mataku memicing menatap kakak laki-lakiku. "Yang menjadikan peristiwa tadi drama adalah kau! Karena kau memukulnya jadi kau terlihat seperti seorang pacar yang cemburu karena aku dipeluk sang mantan."

"Dia mantanmu?"

Aku menggeleng. "Kami belum benar-benar mengatakan putus."

"Astaga! Kau meninggalkan banyak lelaki yang melamarmu hanya untuk lelaki pendek sepertinya? Tidak dapat kupercaya," entah kenapa jadi Hoseok sendiri yang emosi.

Aku menatapnya galak. "Hei, jika saja ada yang sedikit 'benar' dari orang yang melamarku pasti aku akan menerimanya," jeda beberapa saat. "Tapi mereka semua tidak normal."

"Bagaimana dengan Jeon Wonwoo? Bukankah dia serius denganmu?"

Aku mengangguk, membenarkan perkataannya karena memang kenyataannya Jeon Wonwoo serius untuk melamarku di pertemuan ketujuh setelah pertemuan pertama di kencan buta--tentunya diatur oleh Jung Hoseok oppa yang tercinta. "Dia bahkan lebih dingin dari es, oppa!" Cercaku. "Seharusnya aku tidak percaya padamu, kau saja tidak normal begini tentunya teman-temanmu juga tidak normal!" Omelku lagi.

Hoseok memelukku dan mencubit pipiku gemas. Terima kasih padanya karena aku dapat melupakan sedikit tentang Lee Jihoon.

Keesokan harinya, aku mengajak Minyeo bertemu, sahabatku itu masih saja akrab denganku, dan dia sudah menikah dengan Seokmin. Minyeo mengiyakan ajakanku.

Seperti biasa, kami bertemu di kafe Green Leaf. Aku menunggu Minyeo datang sembari bermain ponsel. Kafe hari itu cukup ramai, tapi untung saja aku mendapatkan tempat yang sama seperti kemarin. Entah kenapa sejak lima tahun yang lalu kafe ini buka, meja ini selalu menjadi tempat favoritku untuk duduk.

"Kau menunggu lama?" Tanya Minyek begitu ia tiba.

Aku menggeleng, masih fokus dengan gameku. "Sudah memesan?" Aku menggeleng. "Kau mau apa?" Tanyanya.

"Apa saja."

"Baiklah air putih saja," aku langsung meletakkan ponselku, mencegah Minyeo pergi dari tempatnya.

"Hehehe aku mau strawberry smoothie dan rainbow cake ya?"

Begitu Minyeo selesai dengan memesan, aku menceritakan semuanya. Apa yang terjadi kemarin.

"Jadi kau bertemu Jihoon sunbae di sini? Lalu pulang dijemput oleh Hoseok oppa?" Aku mengangguk. "Hidupmu benar-benar drama!" Tukasnya.

Aku menyentil jidatnya dengan keras hingga Minyeo kesakitan. "Hei, kau tak apa meninggalkan Minseok di rumah bersama Seokmin?" Tanyaku. Minseok ini anak perempuan Minyeo dan Seokmin yang masih berusia 3 tahun.

"Aku ke kamar mandi dulu ya?" Minyeo pamit padaku, kemudian pergi. Aku kembali sibuk dengan ponselku, main game tentunya. Menyelesaikan level candy crush yang semakin sulit.

"Ehem!"

Aku mendongak, aku menghela nafas. Jihoon lagi Jihoon lagi. "Ada apa?" Tanyaku ketus.

Dia masih menatapku, tanpa menjawab pertanyaanku. "Aku bertanya ada apa Lee Jihoon-ssi."

Sepertinya setelah 10 tahun tidak bertemu dia lupa caranya bicara denganku. "Hei," dia masih diam, tak mau menjawab.

"Silakan dinikmati."

Seorang pramusaji menghampiri meja kami, meletakkan pesananku dan Minyeo. Tapi sebelum pramusaji cantik itu pergi, aku menahan tangannya. "Maaf, bisakah aku membawa pesananku pulang? Aku ada urusan mendadak."

"Baiklah nona."

Saat pramusaji itu ingin menarik kembali nampannya, Jihoon menahannya. "Apa maumu Jihoon-ssi."

"Tidak usah dibawa pulang, kami akan makan di sini saja."

"Baiklah Lee Jihoon-ssi."

Pramusaji itu meninggalkan kami. "Apa yang kau mau? Jika kau masih tidak ingin bicara, aku akan pulang. Kau membuang waktuku, dan kau bisa memakan pesananku."

Aku baru saja mau pergi, Jihoon menahan tanganku. "Jangan pergi."

"Kau membuang-buang waktuku Jihoon-ssi."

"Tolong tinggalah sebentar."

Melihat wajah melasnya, aku kembali duduk. "Cepat katakan apa maumu."

"Maaf," lagi-lagi satu kata itu yang keluar. 

"Kau sudah mengatakannya kemarin Lee Jihoon-ssi. Tenanglah, aku memaafkanmu."

"Aku....," jedanya sebentar membuatku fokus menatapnya yang masih menunduk. "Menyesal."

"Untuk apa kau menyesal? Kau kehilangan sesuatu?"

"A-aku kehilanganmu," suaranya bergetar, membuat hatiku teriris.

"Kau tidak kehilangan aku, kau yang membuangku," jelasku, menahan air mata yang mengalir.

"Maaf, aku menyesal."

Aku menghela nafas, mengungkit luka lama ternyata rasanya semenyakitkan ini. "Seharusnya aku tidak percaya padamu, menjatuhkan hatiku padamu secepat itu," aku mengambil jeda untuk bernafas. "Seharusnya aku yang menyesal telah mengenalmu, seharusnya aku tidak berjalan di lorong hari itu," nafasku tercekat. "Tapi aku juga harus berterima kasih karena aku jadi bisa belajar agar tidak mudah percaya pada orang lain."

"Kau mau mendengarkan penjelasanku?" Seolah mengabaikanku, Jihoon kembali bertanya.

"Aku tidak bicara pada orang yang tidak berani menatapku."

Sial, aku menyesal mengatakannya. Jihoon mendongak, menatapku tepat di mata. Tatapannya begitu menyiratkan kesedihan dan matanya yang memerah menambah kesan sedih di wajahnya.

"Maaf, aku meninggalkanmu dulu. Waktu itu aku belum berani bercerita padamu."

"Kenapa? Kenapa tidak berani? Sebenarnya kau anggap aku apa?"

"Maaf," lagi, dia hanya mampu mengucapkan kata itu dengan penuh penyesalan. Aku kesal.

"Berhenti meminta maaf Lee Jihoon! Kata maafmu tidak dapat mengubah apa yang terjadi! Jadi hentikan!" Seruku. Tidak peduli pada pengunjung kafe yang lain.

"Aku menyesal."

"Apa yang membawamu kembali?" Tanyaku.

Air mata mulai mengalir di pipinya. "Aku masih mencintaimu."

"Apa yang membuatmu yakin masih mencintaiku? Selama sepuluh tahun ini kuyakin kau sudah menemukan wanita yang tepat untukmu di sana."

Jihoon menggeleng. "Tidak ada wanita yang sepertimu."

"Iya, tidak ada yang sepertiku. Yang kau berikan luka tanpa penjelasan sama sekali," jelasku, aku berusaha menahan tangisku. "Yang kau rasakan itu bukan cinta, melainkan penyesalan dan kau mau menebus semua rasa bersalahmu."

Aku berdiri, hendak meninggalkan Jihoon yang menatapku tak percaya. "Terima kasih atas penjelasannya. Kuharap kau dan aku bahagia, tapi maaf kita tidak bisa saling membahagiakan."

-FIN-

Seventeen As.....Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang