Seokmin menghela napas lega. Membunuh waktu dengan diam bersama gadis kesayangannya adalah kegiatan kesukaannya. Walaupun mereka berdua tidak melakukan apapun, hanya melakukan kegiatan masing-masing sambil sesekali melirik malu-malu.
"Tumben sekali kau diam," gadis di depannya berujar. "Kau sakit?"
Seokmin menggeleng cepat. "Aku sehat, sepenuhnya sehat! Aku hanya terlalu merindukanmu, melihatmu seperti ini saja sudah menghilangkan rinduku. Bagiku berada di sisimu dan melihatmu bahagia sudah menjadi kebahagiaan tersendiri bagiku," gadis di depan Seokmin tersenyum malu-malu. "Walaupun alasanmu bahagia bukanlah aku."
"Aku juga merindukanmu."
Seokmin beranjak ke sebelah gadisnya, memeluknya erat seolah tak ingin berpisah--atau memang ia tak ingin berpisah. "Tetap di sisiku, jangan tinggalkan aku."
"Ya."
Pelukan Seokmin semakin erat seiring detik berjalan. Lagi-lagi mereka berdua diam, biasanya Seokmin yang ceria akan membuat gadisnya tak henti-hentinya tertawa, tapi kali ini tidak. Seokmin hanya diam sambil sesekali mengecup puncak kepala gadis yang ada di dekapannya.
"Kau sakit?"
Lagi-lagi Seokmin menggeleng, menyembunyikan wajah ke pundak sang gadis. "Tidak."
"Yang benar?" si gadis tampak ragu, sebab lelaki di hadapannya bertingkah aneh.
Seokmin mengangguk di pundak sang gadis, gesekan hidung mancung dengan pundak sang gadis yang sedikit terbuka memberikan sensasi menggelitik. "Ya, aku baik. Kau tak perlu khawatir, sekalipun aku sakit, aku akan tetap di sampingmu."
"Ah, aku masih tak percaya," gadis itu mencubit punggung Seokmin gemas. "Katakanlah yang sebenarnya."
"Tidak. Aku sehat, sayang," Seokmin melonggarkan pelukannya--masih belum melepaskan. "Buktinya aku masih bisa melakukan ini," Seokmin mencuri satu kecupan pada bibir mungil gadisnya, tak hanya satu sebenarnya, ia memberikan kecupan ke seluruh wajah gadisnya.
Gadis itu memukul pelan dada Seokmin. "Dasar!"
Seokmin tersenyum lebar hingga deretan gigi putih itu nampak, matanya menyipit dengan binar yang seolah tak pernah redup. Hidung mancung itu menjadi kesukaan sang gadis, bintik di bawah matanya menyempurnakan wajah manis Seokmin. Semuanya itu sempurna, hingga suara dering telepon sang gadis memecah keheningan di ruang tamu apartemen Seokmin.
Setelah melihat nama sang penelepon di layar, gadis itu hendak beranjak setelah mengemasi barang-barangnya yang berserakan di meja. "Maaf, Seokmin. Aku harus pergi."
Sebelum gadis itu berhasil melangkahkan kakinya, Seokmin menahan tangan gadisnya. "Tidak bisakah kau tinggal?"
"Apa maksudmu?"
Untuk pertama kalinya, gadis itu melihat mata Seokmin kehilangan binarnya walaupun begitu mata itu masih terlihat indah dengan pancaran cahaya lampu yang dipantulkan oleh air mata di pelupuk mata Seokmin. "Maaf jika aku egois. Tapi aku sudah tidak sanggup, Sara. Mari kita selesaikan di sini."
Penasaran dengan apa yang dikatakan Seokmin, Sara menurut dan kembali duduk. "Apa maksudmu, Seokmin?"
Walaupun sakit, Seokmin tetap harus melakukannya. Hatinya sudah terlalu hancur untuk kembali dihancurkan oleh gadis cantik seperti Sara. "Ayo kita putus."
"Apa? Kenapa? Ada apa?"
Senyum pedih yang paling dibenci Sara muncul, senyum yang sering ditunjukkan Seokmin setiap akan meninggalkan tempat duduknya. "Kau tidak perlu lagi berbohong, Sara. Aku sudah tahu semuanya," Seokmin mengambil napas, dadanya bergemuruh, bahkan untuk menghirup oksigen saja rasanya sakit. "Soal Seungcheol."
Mata indah Sara melebar. "B-bagaimana k---"
Seokmin menggeleng. "Itu tidak penting bukan? Lagipula aku mengetahuinya sendiri, dari Choi Seungcheol."
Hati Sara mencelos. Dunia ini begitu sempit, padahal ia yakin Seokmin dan Seungcheol tidak akan berhubungan. Nyatanya perkiraannya salah, arus kehidupan membawa mereka bertiga ke dalam pusaran yang akan menenggelamkan salah satunya, dalam hal ini adalah Seokmin.
"Maaf," Sara menunduk, matanya sudah dibanjiri air mata. Ia malu menatap Seokmin, tapi lelaki itu terlalu menyayangi gadis di depannya. Seokmin merengkuh tubuh rapuh itu, mengecup matanya yang basah.
"Tidak perlu meminta maaf. Bukan salahmu atau salahku."
"Ayo sudahi semua ini," ucap Seokmin lagi. Walaupun berat ia harus.
"T-tidak, kumohon. Aku akan tetap di sisimu, Seokmin."
Seokmin menggeleng lembut, dan dengan suara yang paling lembut yang pernah Sara dengar, Seokmin berkata. "Ini tidak adil, untukmu, untuk Seungcheol, dan untukku."
"Aku tidak ingin menyakitimu, Seokmin. Jangan tinggalkan aku," pinta Sara.
Lagi, Seokmin menggeleng. "Denganmu terus ada di sisiku akan membuatku makin tersakiti, Sara. Berlarilah bersama Seungcheol, aku akan mengamati dari belakang. Aku akan memusnahkan perasaan ini agar kau tak merasa bersalah," bohong, Seokmin berbohong. Ia bahkan tak yakin cintanya pada Sara akan menghilang.
"Berilah aku kesempatan, Seokmin."
"Aku ingin, tapi hatiku sudah terlalu hancur, Sara. Maaf aku egois."
"Tapi takdir membawamu padaku," tukas Sara menahan tangis.
Seokmin tersenyum, senyuman dengan beribu luka yang ditorehkan oleh Sara tiap kali gadis itu pergi untuk menemui Seungcheol saat sedang bersama Seokmin. "Ya, takdir memang membawaku padamu. Tapi takdir tak ingin kita bersama, aku hadir di hidupmu hanya untuk singgah sebelum takdir membawaku pergi lebih jauh, aku tidak diciptakan untuk berjalan lebih jauh bersamamu, Sara."
"Takdir memang selucu itu, Sara. Membawaku padamu hanya untuk memberikan perasaan nyaman yang semu sebelum memberikan luka yang begitu dalam."
Sara menatap mata Seokmin. "Kita tak lagi bisa bersama?"
"Tidak. Tidak selagi di hatimu masih ada Choi Seungcheol. Maaf, Sara. Aku tidak ingin membagi tempat untuk orang lain."
"Apakah semua ini salah? Perasaanku untukmu salah?" tanya Sara.
"Tidak, hanya perasaan itu datang di waktu yang tidak tepat."
***
Spc. untuk kak slsdlnrfzrh yang berhasil buat saia baper :" makasih kak udah update :"
KAMU SEDANG MEMBACA
Seventeen As.....
FanfictionShort stories dan imagine tentang grup kpop, Seventeen. Baca aja sapa tau baper