Uri Aegi

242 12 19
                                    

Noona!” aku memutar bola mataku malas. Lagi-lagi suara bocah itu, bosan aku mendengarnya.

“Apa Chan? Tugas matematika lagi?” tanyaku. Bahkan aku sampai hafal apa yang akan dilakukan jika memanggilki.

Chan tersenyum lebar. “Tidak, aku hanya iseng.”

Aku menghela nafas berat. Anak ini, aku bahkan belum sempat membuka gerbang rumahku. Aku lelah karena jam kuliah ditambah kegiatan kampus yang cukup padat Rabu ini, entah laporan mingguan atau mengumpulkan esai. Sama-sama membuat lelah, ditambah aku harus ditahan oleh Chan.

“Kau terlihat lelah noona,” Chan menatapku dengan tatapan khawatir, aku masih bisa melihat wajahnya yang tetap tampan walaupun dengan pencahayaan minim—aku akui dia tampan.

“Kalau kau tahu aku lelah kenapa kau menghampiriku untuk sesuatu yang tidak penting, lalu tidak bisakah kau mengirim pesan saja setelah aku masuk kamar?”

“Apakah rinduku sesuatu yang tidak penting?”

Untung saja aku bisa membentengi diriku dari gombalan receh Chan. “Berhenti bergaul dengan Seungcheol oppa, Chan. Kau harus belajar matematika jangan belajar menggombal.”

Chan mengusap kepalaku. “Tidur yang nyenyak, noona. Kau harus mengajariku banyak hal besok sabtu.”

Chan berlari begitu saja, masuk ke dalam rumahnya yang hanya selisih satu rumah denganku. Aku membuka pagar, dan masuk. Begitu masuk aku disambut oleh Seungcheol yang duduk di kursi teras.

“Dihadang Chan lagi?” aku mengangguk lemas. “Dia menyukaimu kau tahu.”

Aku menggeleng. “Terlalu cepat baginya menyukai seorang gadis. Apalagi anak kuliahan sepertiku, aku tidak bisa membanyangkan jika kencan dengannya. Aku akan seperti tante-tante yang doyan darah muda,” aku bergidik ngeri atas ucapanku sendiri. “Oh iya, oppa, berhenti mengajarinya menggombal. Lebih baik oppa mengajarinya statistika, itu lebih bermanfaat.”

Seungcheol tertawa. “Itu bukan tugasku, tugasmu untuk mengajarinya pelajaran eksakta. Aku hanya mengajarinya pelajaran hidup.”

“Kenapa kakakku seperti ini ya Tuhan, salah apa aku di hidupku sebelumnya?” keluhku.

Seungcheol berdiri dan memelukku. “Kakakmu ini tampan, aku bahkan menjadi incaran gadis kampus.”

“Iya kau tampan seperti unta. Gadis kampus? Ayam kampus maksudmu?”

Seungcheol menarik bibirku. “Adikku jika sedang lelah bicara pedas sekali, cabai bahkan kalah,” Seungcheol mengambil alih tas ranselku. “Sudah sana mandi, lalu makan malam. Aku sudah menyiapkan air hangat untukmu.”

Aku mengecup pipi Seungcheol kemudian terbang ke kamar. “Terima kasih, oppa jjang!”

***

Aku menggeliat di atas kasurku yang terlewat nyaman ini, tapi aku harus bangun dan meninggalkan tempat paling nyaman di dunia ini. Aku tidak ingin Pak Jeon mengomeliku. Aku menendang selimutku saat mendengar suara ketukan di jendelaku.

“Chan ini masih pagi!” seruku dari jendela.

Anak itu hanya tersenyum lebar. “Aku hanya ingin membangunkanmu, kalau-kalau kau terlambat lagi seperti minggu kemarin dan diomeli oleh dosenmu. Aku tidak bisa menghiburmu nanti malam, aku ada kelas malam.”

“Kelasku bahkan masih dimulai 2 jam lagi. Aku tidak akan terlambat,” omelku. “Daripada kau buang tenaga membangunkanku, lebih baik kau belajar untuk ujian persiapan masuk universitas.”

Seventeen As.....Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang