07

175 20 0
                                    

Warna abu-abu perlahan menggantikan birunya langit. Kumulonimbus mulai berkumpul di atas dan menciptakan gemuruh diiringi rintik hujan yang tiba-tiba jatuh ke tanah. Orang-orang yang berjalan di tepi jalan mulai mengganti langkahnya menjadi berlari untuk cepat-cepat mencari tempat berteduh–menghindari hujan. Namun, hal ini tidak berlaku untuk Park Jimin yang malah sibuk melawan gerimis dengan merapatkan hoodie hijau tua yang ia kenakan dan menarik tudungnya untuk memberi batas air agar tidak menyentuh rambut. Hanya saja, Jimin memperbesar langkahnya agar sampai kedai kopi segera.

Dia mendorong pintu kedai dengan napas sedikit terengah. Memandangi seluruh sisi ruangan kedai untuk sekadar memerhatikan jumlah pengunjung. Cukup ramai sampai-sampai suara lagu dari pengeras suara tidak terdengar sebab suara orang berbincang lebih dominan dari pada lagu. Pikir Jimin, memang waktu yang pas untuk menikmati secangkir kopi hangat di kala hujan menyambangi kota. Sebelum dia berjalan menuju meja belakang kasir, ia melirik sedikit ke bangku pilihan Jungkook yang dia duduki tiap kali menemani dirinya bekerja. Jimin menarik garis bibirnya tipis, mengingat wajah Jungkook yang begitu serius saat mengamati dirinya menggiling biji-biji kopi di belakang meja kasir. Bila diingat-ingat lagi, pertemuan antara mereka berlangsung cepat, namun Jimin tidak masalah saat pelan-pelan bercerita tentang pribadinya. Jimin suka saat Jungkook hanya terdiam tanpa bertanya lebih dalam atas pernyataannya. Jimin suka Jungkook yang selalu mengamati kata-katanya, tanpa menyanggah. Jimin suka Jungkook saat matanya hanya tertuju pada dirinya tanpa harus ia cari-cari.

Jimin menyapa temannya di belakang kasir sebelum mengenakan baju kerjanya. Hari ini Jimin kebagian untuk menjaga kasir hingga pukul sembilan malam nanti. Dia mencoba mengutak-atik layar komputer untuk memasuk beberapa data di sana. Bayangan tinggi tiba-tiba menutupi lampu yang berada pada langit-langit di atas kepala Jimin. Jimin mendongak dan memastikan seseorang datang untuk memesan.

"Oh? Namjoon Hyung?" Setelah pertemuannya dua hari lalu. Hari ini Jimin harus bertatapan lagi dengan matanya. Namjoon sama terkejutnya saat ia tahu Jimin di sana. Mereka sama-sama hening, sampai salah satu pengunjung di belakangnya berdeham.

Jimin mengerjapkan matanya sekali sebelum menunduk melihat layarnya lagi. "Espresso." Namjoon menyebutkan pesanannya sambil mengeluarkan beberapa lembar won untuk ia berikan kepada Jimin. Jimin tidak bersuara. Tangannya meraih lembar-lembar won itu dan mengatakan bahwa pesanan Namjoon akan dia antarkan.

Jimin tidak tahu siapa yang patut disalahkan. Kehadiran Namjoon saat ini atau dirinya yang belum bisa memaafkan kepergian Namjoon enam tahun lalu. Rasanya, seperti orang asing. Hanya sorotan mata Namjoon yang masih bisa Jimin deskripsikan. Selain itu, semuanya berubah. Salah satunya perasaan. Tapi, tentang hal itu Jimin juga tidak terlalu yakin. Apakah rasa itu memang berubah atau memang tidak pernah ada?

Jimin melangkahkan kakinya untuk menuju meja Namjoon. Namjoon masih memandangi rintik hujan di luar sana melalui jendela kaca sambil menopang dagu di tangan kursi. Dia melirik dari ujung matanya bahwa Jimin datang dengan secangkir Espresso untuk dirinya. Namjoon hanya memerhatikan gerakan Jimin yang sangat kaku saat ia mulai menunduk setelah menyodorkan cangkir itu.

"Jim. Aku ingin menyapamu." Namjoon berkata cepat sebelum Jimin berbalik menuju meja kasir.

"Hyung sudah menyapaku dari dua hari lalu." Sebenarnya dada Jimin sangat sesak sekarang, namun dia memang pandai menyembunyikan rasa.

"Kamu sakit. Kenapa tidak bilang?" Namjoon bertanya perihal penyakitnya. Jimin tidak terkejut sama sekali atas kalimat barusan. Dia tahu Namjoon akan segera mengetahui hal tersebut sebab dua hari lalu ia mengatakan akan mengunjungi nenek di Haeundae. "Hyung tidak perlu tahu." Jimin tersenyum pahit–sangat pahit di sana.

"Berhentilah bersikap seperti ini, Jim." Air wajah Namjoon memelas. Jimin bergeming, matanya masih melihat Namjoon tajam. "Berhenti bersikap seperti orang asing, Jim. Aku ini Hyung-mu."

Art of TemptationsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang