EPILOG

183 21 6
                                    

Jimin mengamati ruang televisi Jungkook dengan hati-hati. Ada satu lukisan keluarga Jungkook berbentuk landscape di tembok belakang televisi. Jimin yakin itu adalah gambaran ayah Jungkook dan di bawahnya ada satu pigura kecil yang berisikan gambaran anak kecil.

"Yang atas hasil lukisan Ayah Jungkook dan bawah itu lukisan Jungkook saat berusia lima." Ibu Jungkook menaruh cangkir teh di meja depan Jimin. Park Jimin hanya tersenyum kecil lalu menyesap teh tersebut.

Sudah hampir enam bulan sejak kematian Jungkook. Jimin akhirnya bertekad untuk bertemu dengan keluarga Jungkook untuk mengucapkan terima kasih. Bermodal alamat yang ia dapatkan dari Yoongi Hyung, akhirnya Jimin berkesempatan bertemu dengan Ibu Jungkook.

"Terima kasih, ya, Nak." Ibu Jungkook tiba-tiba berucap. Jimin mengerutkan dahinya. Seharusnya, Jimin yang mengucapkan itu bahkan seharusnya Jimin mengatakan maaf sebab karenanya lah Jungkook mati di atas meja operasi.

"Terima kasih, hadirmu membuat Jungkook menjadi anak yang lebih dewasa. Menjadikan Jungkook meninggal karena menolong. Dan, orang yang ditolongnya adalah kamu." Ibu Jungkook menunduk-menutupi wajahnya. Ia menangis lagi. Bukan, bukan karena anaknya mati karena Jimin. Tapi, karena anaknya memiliki hati yang amat besar.

Jimin tidak tahan untuk tidak menangis dan meraih Ibu Jungkook ke dalam dekapannya.

"Maafkan aku...," suara Jimin bergetar dan mati-matian menahan isaknya.

"Tidak. Kamu tidak salah. Ini adalah pilihan hidupnya...," Ibu Jungkook menjauhkan tubuh Jimin dan mengusap air matanya sendiri.

Jimin hanya menunduk. Merasakan kesedihan dan menyesal di waktu bersamaan. Dia tidak tahan harus menghadapi fakta ini terus-terusan.

"Sebelum menjalankan operasi. Jungkook meninggalkan ini untukmu." Ibunya menyodorkan satu kotak bekas sepatu sambil mengambil posisi duduk kembali di samping Jimin. Jimin meraihnya dengan air wajah heran.

"Seperti ayahnya. Jungkook suka sekali mengumpulkan memori. Mungkin, ini salah satu memori antara dia dan kamu, Nak."

•••

Suara kekehan Jungkook menggema di ruang kamar Jimin. Jimin ikut-ikutan tersenyum getir saat ia mulai memutar sebuah compact disc yang ia dapatkan dari dalam kotak sepatu yang diberikan Ibu Jungkook tadi siang.

"Hmm. Saat kamu sudah melihat aku di sini, itu tandanya, aku sudah terkubur." Jungkook masih bisa tersenyum kecil di sana. Jimin ikut tertawa, tapi air matanya tetap menetes di sana. "Aku tidak tahu langkah ini benar atau salah. Tapi, aku ingin kamu bertahan, Jim. Dengan bantuanku. Dengan organ hatiku yang tertanam kelak di tubuhmu." Di dalam video itu Jungkook menunduk setelah berkata demikian. Jimin semakin terisak di sana. Merasakan kesakitan yang amat pilu. Dadanya sangat sesak saat Jungkook kembali mendongak melihat kamera.

"Maaf, aku tidak menepati janjiku. Maaf, kalau aku bersikap seperti Kim Namjoon yang meninggalkanmu. Maaf aku melepaskan genggamanmu, tanpa peringatan. Tapi.... Tapi sekarang kamu tidak sakit lagi, kan, Jim? Organ hatiku bekerja dengan baikkan?" Mata Jungkook memerah. Wajahnya pun demikian.

Jimin mengigit bibirnya keras-keras untuk menahan air matanya yang mendesak keluar.

Jungkook menghembuskan napasnya pelan-pelan, "Aku tinggalkan beberapa lukisanku yang aku gambar diam-diam saat sedang memerhatikanmu. Kamu simpan, ya? Aku tidak ingin kamu melupakanku. Aku tidak ingin menjadi memori paling menyedihkan untukmu sebab momen yang pernah kita lewati bersama sangat indah sampai aku tidak rela menjadikannya kenangan. Walaupun, faktanya kisah kita berdua hanya tinggal kenangan."

Jimin tidak tahan untuk tidak menangis. Ia menutup wajahnya dengan kedua tangannya. Berteriak sangat kencang di sana.

"Jaga baik-baik dirimu dan organ hatiku! Dengan kamu menjaganya, kita bisa menjalani hari-hari bersama walau raga kita tidak bersisian." Jungkook mengusap air matanya. "Aku pamit, Jim."

Jimin mematikan rekaman itu. Dia masih menangis lagi. Dadanya sangat sesak dan perutnya sangat mual. Kali ini, bukan karena penyakitnya. Kali ini, karena Jimin kembali dihantam satu fakta bahwa Jungkook memang sudah mati raganya.

Jimin memeluk lututnya dan menyembunyikan wajahnya di balik sana. Menangis hingga puas sampai dia kelelahan.

"Terima kasih, Jungkook. Terima kasih sudah sempat menjadi bulan yang menemani langit malam di bumi, Kook."

Art of TemptationsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang