Kala itu jam 2 siang di hari Minggu, Rega sedang membaca buku yang sudah hampir setahun lalu ia beli dalam acara bazar buku besar namun tak kunjung ia selesaikan. Punggungnya ia sandarkan ke lengan sofa sebelah kanan karena disisi itu lebih dekat dengan bukaan jendela, ia bisa menikmati langsung angin sejuk bekas hujan tadi pagi menyelinap kedalam. Kakinya menjulur dan jemarinya terkadang menyentuh kulit lutut kekasihnya saat sesekali ia meregangkan tubuhnya yang pegal.
Jun sedang mengetik sesuatu di laptop-nya, entah itu artikel atau hanya laporan biasa untuk info wawancara, namun dia belum bergerak sedikitpun dari pagi pertama Rega bangun hingga memutuskan untuk bergabung diatas sofa sambil menemani lelakinya. Dahinya sesekali mengerut, matanya juga berulangkali memicing dari balik lensa kacamata yang ia gunakan. Dagunya sedikit maju seperti kebiasaannya saaat sedang konsentrasi penuh. Dulu Rega sering menggodanya tentang kebiasaan kekasihnya itu, sambil menekan-nekan rahang lelaki itu agar berhenti menegang dan kembali rileks, Rega akan menggumam 'jelek' berulang kali sambil terkikik kecil melihat reaksi Jun yang selalu maklum.
Rega mendengar desah nafas panjang yang berat dari sisi sofa di sebrangnya. Dengan lirik singkat yang ia sita sebentar dari buku bacaannya ia lihat Jun melepas kacamatanya sesaat, lalu memijat ringan pangkal hidungnya dan area alisnya. Dia bisa mendengar bunyi gemeletak kecil sendi yang tegang beberapa kali saat ia mulai membaca kalimat pertama bab 19, kemudian bunyi keriyut bahan sofa yang sayup saat Jun membetulkan posisi duduknya. Ada jeda sunyi beberapa menit Rega merasakan pandangan kekasihnya tertuju pada dirinya yang berusaha kembali berkonsentrasi pada buku yang ia baca, mengira Jun hanya bosan dan akan kembali pada pekerjaannya lagi setelah itu.
Namun kemudian Rega merasakan sentuhan kecil di pergelangan kakinya, yang awalnya hanya berupa kontak ringan dari ujung jemari Jun, hingga kemudian berubah menjadi usapan pelan.
"Re," Jun memanggil pelan, usapan telapak tangannya yang besar tetap konstan pada pergelangan kaki kekasihnya.
Kekasihnya hanya merespon dengan gumam sekenanya, karena Rega sedang berada di bagian yang mendeskripsikan rumah guru spiritual pemeran utama yang nampaknya tinggal di gua kristal dengan magma yang terus menerus menggelegak dibawah lantainya.
"Aku boleh tanya?" tanya kekasihnya lagi. Kini tangannya bergerak ke tungkai kaki Rega, memijatnya pelan dan menghindari menekan bagian yang lebam agak membiru (yang kata Rega dia dapatkan saat mereka bercinta buru-buru, ia sendiri baru sadar belakangan dan ingat ia tidak sengaja terantuk pinggiran permukaan countertop granit pada pantry saat dia mengangkat sebelah kakinya disana).
"Shoot." Respon Rega lagi, matanya masih bergerak membaca deret kata pada buku di tangannya.
"Jawab aku jujur, Re."
Pada saat itu Rega berhenti di tengah paragraf yang ia baca, namun pandangannya masih lekat pada buku dihadapannya.
Lalu ia merasakan telapak tangan Jun makin naik, kini mengelus lututnya perlahan. Sesekali merambat ke paha kekasihnya pelan, namun tidak lama mengelus disana.
"Apa kamu pernah ingat-ingat lagi saat-saat kamu make out sama Aji pertama kali dulu?"
Apa Jun memikirkan tentang hal ini juga kala bekerja di depan laptop-nya dari tadi?
Ia tahu dia tidak bisa berbohong, karena Jun tahu ciri gerak-gerik gelisah kekasihnya saat Rega tidak jujur. Entah karena Jun memang pengamat yang baik atau hanya Rega saja yang tak pandai berbohong pada orang lain.
Karena, ya, Rega pernah beberapa kali terbayang-bayang dengan apa yang terjadi di bilik kamar mandi di kelab malam itu. Apa lagi beberapa minggu setelah kejadian, terlebih lagi dia dulu belum bertemu dengan Jun. Namun kini pun saat sudah menjalin hubungan dengan Jun, Rega juga pernah beberapa kali memimpikan hal itu, memimpikan Aji. Atau malah terlintas ketika ia sedang sendiri dan butuh menyalurkan hasrat kala ovulasi. Dia cuma berharap dia tidak pernah mengigau memanggil nama Aji saat sedang memimpikan lelaki itu dalam dekapan Jun, atau yang lebih mengerikan, saat sedang bersenggama dengan Jun dan mendesah nama yang salah saat sekelebat kejadian itu terlintas lagi. Oh, itu mimpi buruk yang Rega saja tak mampu untuk membayangkannya sendiri, terlalu takut dengan akibatnya walaupun hanya fana dalam kata 'seandainya'.
KAMU SEDANG MEMBACA
Utervis
FanfictionRega cinta Jun. Sumpah, dia cinta mati. Dia juga yakin bisa melihat masa depan dengan menjalani sisa hidupnya bersama lelaki ini. Hanya mereka, seperti kata orang banyak: "Dunia milik berdua, yang lain ngontrak." Tidak sampai Aji kembali lagi, memb...