IV

245 13 1
                                    

Rega menghela nafas setelah akhirnya memutuskan untuk menutup laptopnya, setelah hampir 5 jam ia pandangi terus menerus. Tengkuknya yang pegal dan tegang mulai terasa menjadi hingga merambat ke punggung, ia memijatnya sebentar namun tetap merasakan beban berat tak kasat mata disana. Perempuan itu menyentuh layar handphone-nya sekilas, mengecek permukaannya yang berpendar samar dalam suasana pojok koridor yang mulai remang.

Dia memutuskan untuk pulang setelah menyadari langit yang mulai menggelap bukan hanya pertanda matahari terbenam, namun karena ia lihat awan-awan tebal yang menggantung di atas sana dan juga gemuruh guntur yang samar-samar terdengar. Dengan sedikit terburu ia melangkah menyusuri koridor bersisian kelas-kelas yang hening, tas ranselnya yang berat dengan beban laptop tersampir di pundak kanannya hampir setiap 2 langkah yang Rega ambil melorot dari posisinya bertengger.

Setelah turun menggunakan lift dan pamit pada satpam yang menyapa ramah sesaat, Rega memutuskan untuk diam di depan area masuk gedung. Ragu sebentar memikirkan apakah harus jalan keluar komplek kampus atau tidak untuk mencegat angkutan umum karena khawatir hujan akan turun dalam waktu cepat. Namun kemudian memutuskan untuk merogoh kantung belakang celananya dan mengambil handphone, berniat membuka aplikasi transportasi online karena ia menaksir jam segini tidak bisa meminta kekasihnya untuk menjemput sebab Jun belum keluar dari kantor. Masih terlalu sore, pikirnya.

"Oh, Rega?"

Hampir Rega menjatuhkan alat komunikasi ditangannya itu. Ia amat sangat tidak ingin menengok kearah sumber suara yang datang dari samping kanannya, tapi ia terlanjur melirik dan bertatap mata dengan Aji yang makin lama mendekat kearahnya. Rega langsung memutuskan untuk menurunkan pandangannya pada balutan pakaian yang dikenakan lelaki itu, jaket kulit hitam dengan kaus oblong didalamnya, dan juga celana jeans hitam ketat yang belel di area lututnya.

"Baru selesai kelas?" lelaki itu bertanya setelah kini jaraknya tidak ada dua meter dari sisi Rega.

"Nggak."

"Oh? Nugas ya? Buat lembar kerja matkul Merancang?"

"Uh, iya."

"Oh gitu? Aku habis bantu senior setting dan beresin ruang sidang, ini baru selesai presentasi."

Sungguh, Rega tidak ingin tahu. Tapi akhirnya dia hanya merespon dengan gumam sekenanya, sambil tetap mengalihkan pandangannya kearah detail jaket kulit hitam yang Aji kenakan. Pokoknya kemana saja asal bukan membalas lurus kearah kedua mata lelaki itu.

Rega sudah susah payah menghindar dari Aji sejak lelaki itu berkunjung ke apartemennya hampir tiga minggu lalu. Dia bahkan menolak ajakan Jun untuk mampir ke cafe milik Fajrin hari Minggu kemarin dengan menggunakan dalih deadline pengumpulan tugas besar yang sebenarnya masih sebulan lagi lamanya. Rega tahu Aji pasti akan ada disitu juga, dan dia tidak ingin bertemu lelaki yang baru beberapa minggu lalu menontonnya bersenggama dengan kekasihnya secepat itu.

Sampai sekarangpun ia masih mempertanyakan perasaannya terhadap keputusannya sendiri kala itu. Walaupun setelah lelah panas dengan perlakuan Jun dan juga tatapan intens yang tak putus dari Aji waktu itu, ia sempat merasa lega karena kemudian telinganya dibanjiri kata pujian dari mulut manis Jun. Di satu sisi dia malu setengah mati; badannya yang polos, tiap tarikan nafasnya yang tersendat, tiap desah lenguh yang terselip keluar, dan tiap reaksinya yang ia tidak bisa kendalikan, malam itu ditangkap semua dalam kamera dan juga ingatan Aji yang merupakan orang asing dalam hubungan asmaranya. Di satu sisi lagi–dia malu untuk mengakuinya, tapi dia sedikit menikmatinya.

Mengingat ia mencapai puncak pertamanya malam itu sambil beradu tatap dengan Aji setelah Jun membisikan perintah untuk tidak memalingkan pandangannya dari milik lelaki dihadapannya yang terduduk tegang di pinggir sofa.

UtervisTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang