Disclaimer: Naruto and all the characters are Masashi Kishimoto's, the story is mine.
"Anhedonia."
Bocah kecil itu mendiagnosisku dengan istilah antah berantah. Persis Neji, jenis manusia judgmental yang herannya mudah diterima. Di sisi mereka, logika mengalahkan rasa dalam hal penghakiman. Cara berpikir deduktif sepertinya mengalir dalam genetika Hyuga.
Sejak awal, Hinata telah memperlihatkan citra itu. Dia berbeda. Usia boleh muda, tetapi pembawaan, bahkan cara bicaranya jauh dari remaja kebanyakan. Delapan belas tahun adalah umur ketika seseorang merasa mampu melakukan apapun. Aku menyaksikan orang-orang pada umur itu nampak bernergi, memancarkan semangat bergelora. Namun, Hinata lain, seolah ia lahir dengan pemahaman tentang realita. Perkataannya kukuh bermakna, seperti pertapa tua yang banyak makan asam garam kehidupan.
Padanya, aku mencoba bermain trik. Cara-cara usang menarik perhatian semacam kontak mata kulakukan. Perempuan lemah dengan ini, mereka pikir lelaki yang memandangnya fokus berarti jatuh cinta. Well, tidak sepenuhnya salah, tetapi keliru jika lelakinya aku. Uzumaki Naruto ini, suka sekali melihat umpannya termakan, kemudian si mangsa salting tak karuan. Hiburan favoritku adalah hal-hal flirty yang beresonansi menjadi pipi merah semu, menundukkan pandang serta perempuan yang mengambil hati setiap ucapan. Lalu Hinata datang menghancurkan semua. Dia tidak memalingkan muka jika aku merayu lewat mata. Malahan, membalasku dengan tatapan penuh tanya.
Dia tidak secara spesifik drop dead gorgeous, kulitnya bahkan terlalu pucat, juga bukan perempuan sempurna dalam berpakaian, apalagi socially butterfly yang mudah menarik perhatian. Segala tentang Hinata biasa-biasa saja untuk sekali pandang. Dia seperti permata mentah, kau perlu melihatnya lagi dan lagi untuk yakin betapa ia indah dan langka. Hobinya adalah mengenakan baju longgar, aku sering curiga itu baju Neji. Dan yang paling kupuja, adalah lesung pipi dalam di sebelah kiri. Lantaran jarang tersenyum, kejadian lesung pipi itu sejarang periode Komet Halley.
"Tangan kak Naruto besar sekali." Hinata menumpangi telapak tanganku yang membuka. Ia tertawa kecil melihat tangan kami yang sebangun namun tak kongruen.
Seiring tawa, perlahan sesuatu muncul di pipi kirinya. Lesung yang dalam, dan wajahnya puluhan kali lebih cantik. Dorongan untuk mencium pipi Hinata mendesakku.
CUP.
Kami terdiam, sesaat tenggelam dalam kecanggungan. Wajah Hinata memucat, pucat yang mengatakan bahwa perbuatanku salah. Terang saja, selanjutnya Hinata memukul bahuku keras.
"Kakak apa-apan sih!" Ia menggerutu. "Bagaimana kalau kak Neji lihat."
Aku bingung menentukan apakah Hinata polos atau berprinsip, mungkin keduanya. Apapun itu, yang jelas dia seperti Garfield mencoba tegas. Lucu, imut tapi mencoba tegas.
"Seharusnya kamu lebih takut Tuhan daripada Neji, Hina-chan. Lagi pula itu cuma kecupan di pipi, bukan ciuman. Masa aku harus puasa seumur hidup."
Hinata akan membalas, bibir indahnya yang tak pernah kusentuh dengan bibirku, membuka. Tetapi detik selanjutnya ia hanya melempar bantal. Oke, aku dalam masalah besar: kekasihku tak suka dicium.
Awalnya, karena Hinata cuma bocah lulusan SMA, kupikir aku akan diperlakukan sebagaimana biasa. Barisan para mantan, menyikapiku sebagai bad boy yang mereka berharap bisa mengubahku. Secara naif berpikir menjinakkanku, supaya bisa menurut hanya pada mereka. Cih, kekanakkan! Aku justru akan semakin liar, seperti anjing gila yang merepotkan pembawa tali kekang.

KAMU SEDANG MEMBACA
GESTALT (Completed)
RomanceKepribadian manusia bisa dipahami scr utuh jika kita mengetahui latar belakangnya secara utuh pula. Hinata salah satu yg mempercayai itu. Makanya ia tdk peduli ketika semua menganggap Naruto kekacauan. Tp masihkah ia memacari sahabat kakaknya, ketik...