Disclaimer: Naruto and all the character are Masashi Kishimoto's, this story is mine.
Hinata menutup buku, kekesalan mendorongnya sedikit melempar ke meja. Inilah kenapa ia tak suka fiksi popular. Motivasi untuk memahami selera pasar kandas pada sepuluh halaman pertama. Tidak, Hinata tidak mencela selera Ino dan sebangsanya, bagaimanapun selera adalah preferensi pribadi yang tak untuk diperbandingkan. Ia hanya menyayangkan plothole yang melubangi cerita sehingga tak masuk ke benak. Bukan permasalahan klisenya, tetapi segala sesuatu yang menjadi terlalu mudah atau kelewat berat bagi salah satu karakter.
Demikian pula dengan karakter antagonis, mereka seolah diciptakan semata-mata untuk kejahatan. Terkadang jahatnya menusuk sampai punggung yang mana tidak masuk akal. Padahal dalam realita, antagonisme hanyalah perkara fokus cerita. Bisa saja Hinata, yang merasa dirinya lurus, merupakan antagonis dalam cerita orang, dalam kisah Shion misalnya. Begitu pula perempuan itu, Hinata rasakan mengancam hubungannya dengan Naruto.
Tak pernah ada tokoh yang benar-benar villain di kehidupan nyata.
Dunia terlalu abu-abu untuk digolongkan ke dalam protagonist dan antagonist. Manusia adalah makhluk yang selalu mencari celah di antara dikotomi. Hinata sendiri kesulitan menuangkan dirinya dalam sebuah definisi. Apalagi menentukan individu lain, umpamanya Naruto. Lelaki itu segala yang Hinata pikirkan tentang lelaki, he fits so much with stereotype. Makhluk lugas yang pandangannya banyak disetir pengalaman mata. Tidak mengherankan Naruto mendirikan benteng untuk melindungi dari hubungan yang melibatkan hati. Sejalan dengan bagaimana caranya memperlakukan Shion. Lalu saat kebenciannya dipaparkan pada kebenaran, Hinata tahu, Naruto ditimbun rasa bersalah yang gigantis. Ia melihat tatapan yang menjadi lain terhadap Shion, seperti orang yang bermaksud melakukan penebusan dosa.
Hinata maklum jika Naruto kembali menerima Shion. Tetapi, perasaan cinta tak pernah selesai, jika tak berubah jadi benci maka setidaknya berkisar pada 'suka'. Ia bukan ingin membelenggu seseorang untuk tetap di sisi, namun, hubungan 'hidup segan mati tak mau' ini semakin tak sehat. Hinata berkali-kali mendapati Naruto asyik dengan ponsel, bicara tak fokus saat bersama, dan yang di luar toleransi, bertemu Shion tanpa sepengetahuannya.
"Shion itu teman, Hinata. Nggak pernah lebih."
Demikian alasan yang selalu dikemukakan si Uzumaki. Lelaki itu tak tahu saja bahwa menurut jurnal ilmiah yang dibacanya, pria tidak menjalin hubungan pertemanan platonis dengan perempuan. Jika tidak mengharapkan sesuatu, berarti mereka sedang mencipatakan friendzone yang menganggap si perempuan sama halnya dengan teman lelaki. Apa sesungguhnya yang Naruto harapkan dari Shion? Apakah Hinata harus mundur saja?
Hal yang paling tidak ia harapkan adalah Naruto bertahan dengannya karena perasaan tak enak. Komitmen tidak berjalan seperti itu, tidak bila satu pihak tak berusaha memperbaharui perasaan pada pasangan. Hubungan seperti ini akan mengarahkan Naruto dalam memperlakukan Shion sebagai guilty pleasure. Akan timbul perasaan senang tak semestinya ketika berinteraksi dengan Shion, si cinta yang salah tempat.
Hey, soon to be wife, besok jalan-jalan yuk. Pokoknya hadiah ulang tahunmu adalah penghambaanku padamu selama sehari penuh. Bagaimana?
Hinata menahan senyumnya untuk tak merekah ketika membaca pesan Naruto. Lalu apa ini? Pacar yang mencoba menebus kesalahan? Berani-beraninya ia memanggil Hinata calon istri.
Pesan manis itu mau tak mau membuat Hinata menipu hati. Yep, berpikir positif adalah trik psikologi untuk menjadi lebih bahagia. Anggap saja Naruto sungguhan menghamba, dan Hinata akan menciptakan perbudakan pacar di hari ulang tahunnya.

KAMU SEDANG MEMBACA
GESTALT (Completed)
RomantikaKepribadian manusia bisa dipahami scr utuh jika kita mengetahui latar belakangnya secara utuh pula. Hinata salah satu yg mempercayai itu. Makanya ia tdk peduli ketika semua menganggap Naruto kekacauan. Tp masihkah ia memacari sahabat kakaknya, ketik...